Peran Advokat Saat Menangani Kasus KDRT Dampak Pandemi
Berita

Peran Advokat Saat Menangani Kasus KDRT Dampak Pandemi

Karena dinamika rumah tangga dengan beban, pengeluaran bertambah, dan persoalan ekonomi saat pandemi Covid-19 berpeluang terjadinya KDRT.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Ia menjelaskan masa pandemi mendorong adanya perubahan beban kerja rumah tangga, seperti pengasuhan, pengeluaran cenderung bertambah, khawatir kehilangan pekerjaan, akses belajar yang optimal. Sebab, perempuan mendapat beban mendampingi anak belajar di rumah, yang biasanya dilakukan di sekolah. Kebijakan stay at home memaksa perempuan mempelajari teknologi belajar online untuk anaknya; kebutuhan hidup sehat dan bersih; pelayanan kebutuhan pangan dengan asupan gizi cukup selama masa Covid-19

“Ini memaksa perempuan memberikan waktu berlebih untuk kerja domestik,” kata dia.  

Penyebab KDRT masa pandemi

Dari penelitian Komnas Perempuan, dinamika rumah tangga dengan beban dan pengeluaran bertambah saat pandemi Covid-19 memiliki peluang terjadi kekerasan fisik dan seksual yang lebih tinggi. Persoalan ekonomi berpeluang mendorong kekerasan fisik dan seksual rumah tangga. Upaya melaporkan kekerasan di lembaga layanan menurun angkanya di masa pandemi ini karena sikap diam atau memberi tahu kepada saudara, teman dan/atau tetangga menjadi pilihan perempuan yang berstatus menikah dan tidak menikah. Faktor lain masih rendahnya kesadaran publik untuk menyimpan layanan kontak pengaduan.

Lembaganya mencatat kasus-kasus KDRT melanggar UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, terutama Pasal 2, Pasal 6 jo Pasal 44 terkait kekerasan fisik; Pasal 7 jo Pasal 45 terkait kekerasan fisik; Pasal 8 jo Pasal 46 terkait kekerasan seksual; dan Pasal 9 jo Pasal 49 terkait penelantaran dalam rumah tangga yang telah diproses hingga ke pengadilan.

Hal ini dibuktikan dengan adanya kurang lebih 1.131 putusan pengadilan terkait KDRT. Adanya putusan pengadilan menunjukkan telah ada definisi operasional yang dapat digunakan aparat penegak hukum untuk mengimplementasikan UU Penghapusan KDRT ini. “Pasal-pasal terkait delik pidana ini masih sarat pemahaman beragam yang membuat ketidakpastian dalam implementasi UU No. 23 Tahun 2004 baik penegak hukum, dukungan masyarakat, dan tata pemerintahan, sehingga penanganan perkara KDRT cenderung merugikan hak korban,” kata dia.

Adanya alternatif penyelesaian KDRT melalui pendekatan restorative justice, mediasi atau upaya damai dalam kasus KDRT juga diterapkan di beberapa daerah. Mekanisme ini dilakukan dengan beberapa alasan. Pertama, keinginan korban, dimana korban meminta mencabut perkara karena korban tidak siap dengan resiko melaporkan terdakwa ke aparat penegak hukum. Kedua, nilai-nilai yang dipegang yang berkesesuaian dengan salah satu tujuan UU Penghapusan KDRT yakni menjaga keutuhan keluarga yang harmonis.

Ketiga, kepentingan aparat penegak hukum sendiri. Aparat penegak hukum tidak ingin posisi mereka terancam karena korban mencabut perkara di tengah proses yang sedang berjalan, selain juga banyaknya tumpukan perkara yang perlu ditangani. Dalam hal ini, mekanisme alternatif dianggap cara efektif dan efisien untuk penanganan perkara dan karenanya aparat penegak hukum seringkali menginisiasi adanya upaya damai.

“Dampak alternatif penyelesaian (di luar pengadilan, red) ini, walaupun awalnya terjadi atas permintaan korban, tapi tidak menguntungkan korban dan lebih menguntungkan pelaku dan aparat penegak hukum,” katanya.

Tags:

Berita Terkait