Perkara Fatia-Haris Ajang Pertaruhan Penegakan Supremasi Hukum
Terbaru

Perkara Fatia-Haris Ajang Pertaruhan Penegakan Supremasi Hukum

Kasus Fatia-Haris merupakan kriminalisasi. Tersedianya ruang bagi publik untuk menyampaikan kritik dan protes merupakan salah satu indikator layak tidaknya Indonesia disebut sebagai negara demokrasi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Foto: Istimewa
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid. Foto: Istimewa

Serangan terhadap pembela Hak Asasi Manusia (HAM), aktivis lingkungan hidup, anti korupsi dan gerakan masyarakat sipil lainnya kerap terjadi. Tak lama setelah kasus eksekusi berupa penangkapan dan penahanan yang dilakukan aparat polres Banyuwangi dan Kejaksaan Negeri Banyuwangi terhadap warga yang menolak tambang, Budi Pego, kali ini giliran aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yang kasusnya berlanjut ke pengadilan.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, mengatakan demokrasi di Indonesia mengalami regresi besar dalam beberapa waktu terakhir. Setidaknya ada 3 indikator untuk melihat apakah Indonesia masih layak atau tidak disebut sebagai negara demokrasi. Pertama, mempertanyakan ruang bagi publik untuk menyampaikan kritik dan protes.

“Pada awal Presiden Joko Widodo berkuasa kelompok masyarakat yang melakukan kritik dan protes dianggap sebagai musuh ideologi negara dan dianggap musuh negara,” kata Usman dalam konferensi pers, Minggu (02/04/2023) kemarin.

Baca juga:

Kemudian masyarakat yang menyampaikan kritik terhadap kebijakan negara, memperjuangkan demokrasi dan HAM juga mengalami serangan. Misalnya serangan terhadap aktivis di tingkat lokal dan sekarang menyasar sampai pembela HAM tingkat nasional. Di tingkat lokal seperti Budi Pego yang dipenjara karena memperjuangkan lingkungan yang hidup dan sehat.

Kedua, oposisi hampir tidak ada. Bahkan Usman melihat mahasiswa yang turun ke jalan menggantikan oposisi parlemen yang gagal juga menghadapi represi dari negara. Ketiga, elektabilitas elektoral, di mana sekarang kalangan elit tak hanya bicara soal sistem pemilu terbuka atau tertutup, tapi penundaan pemilu.

“Pemilu yang tidak digelar tepat waktu akan menyulitkan Indonesia menjadi negara demokrasi,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait