Perkembangan Hukum Wakaf di Indonesia, dari Era Priesterraad Hingga Era Jokowi
Fokus

Perkembangan Hukum Wakaf di Indonesia, dari Era Priesterraad Hingga Era Jokowi

Positivisasi lembaga wakaf ke dalam hukum nasional sudah berlangsung lama. Tantangannya bukan pada regulasi.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

Ketiga, tiga tahun kemudian, melalui Surat Edaran tanggal 24 Desember 1934, Sekretaris Gubernemen menegaskan kembali edaran sebelumnya. Ditegaskan bahwa kalau terjadi sengketa mengenai harta wakaf, bupati dapat menyelesaikannya. Keempat, Surat Edaran yang keluar setahun kemudian, 27 Mei 1935, kembali menegaskan pelaksanaan wakaf harus dilakukan dengan pendaftaran.

Meskipun ada beberapa beleid yang dikeluarkan, tidak banyak kontribusi untuk pengembangan wakaf karena beleid yang dikeluarkan tidak spesifik mengenai wakaf. Dengan kata lain, belum ada regulasi yang secara detil mengatur bagaimana ikrar wakaf, jenis-jenis harta yang dapat diwakafkan, dan mekanisme penyelesaian sengketa wakaf. Menariknya, penyebutan ‘wakaf’ telah dipakai untuk menghindari perampasan harta oleh Belanda. Cerita mengenai ini dapat dibaca dalam putusan Mahkamah Agung No. 85K/AG/2012, berkaitan dengan apakah tanah warisan keturunan Arab di Bandung dikategorikan sebagai wakaf atau bukan. (Baca: Masalah Hukum Perluasan Harta Benda Wakaf, dari Saham dan Sukuk hingga Manfaat Polis Asuransi)

Pasca Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, sesuai Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, ketentuan yang lama masih berlaku hingga terbitnya peraturan yang menggantikan. Seiring dengan pembentukan pemerintahan, Kementerian Agama diberi wewenang mengurus ‘ibadah sosial’, termasuk wakaf. Beleid pertama yang agak detil mengenai wakaf adalah Surat Edaran Kementerian Agama No. 5/D/1956 tentang prosedur wakaf tanah. Surat Edaran ini menyebutkan bahwa ketentuan wakaf yang diterbitkan di era Belanda belum memberikan kepastian hukum. Peraturan mengenai pendaftaran ini harta wakaf ini diperkuat lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.

Terbitnya PP ini tak lepas dari pengakuan atas wakaf dalam UU No. 5 Tahun 1960, yang lebih dikenal sebagai UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). Pasal 49 UUPA mengatur (1) hak milik tanah benda-benda keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi; (2) Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam Pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai; dan (3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. PP yang kemudian diterbitkan adalah PP No. 28 Tahun 1977.

Dalam perkembangannya, terutama sebagai pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977, ada dua Kementerian yang berwenang mengurusi tanah wakaf, yakni Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Kementerian Agama mengurusi masalah aspek agama dari wakaf, sedangkan Kementerian Dalam Negeri lebih pada pendaftaran tanah wakaf.

Hukumonline.com

Satu hal yang dapat disimpulkan dari peraturan-peraturan yang diterbitkan sebelum lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 sangat fokus pada wakaf berupa tanah. Perhatian mulai berubah pada 2001 ketika dibentuk Direktorat Zakat dan Wakaf di Kementerian Agama. Kajian-kajian perbandingan yang dilakukan pun menunjukkan pentingnya mengelola wakaf agar lebih produktif. Wakaf bukan semata-mata fungsi ibadan kepada Allah, tetapi juga fungsi sosial untuk kesejahteraan ummat.

Malahan, dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 18 April lalu, berkembangkan diskursus pemanfaatan harta wakaf untuk membantu korban pandemi Covid-19. Salah satu yang tampak nyata adalah potensi penggunaan rumah sakit hasil wakaf. (Baca juga: Zakat dan Wakaf untuk Bantu Korban Covid-19, Mengapa Tidak?)

Tags:

Berita Terkait