Perlu Memperkuat Aturan Obstruction of Justice dalam RKUHP
Terbaru

Perlu Memperkuat Aturan Obstruction of Justice dalam RKUHP

Termasuk pengaturan soal rekayasa kasus dan menghilangkan barang bukti.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kasus penembakan terhadap Brigadir Nofrianysah Yosua Hutabarat alias Brigadir J yang dilakukan Bharada Richard Elizer atas perintah Irjen Pol Ferdy Sambo menjadi ujian berat bagi instansi kepolisian. Tak hanya empat orang tersangka yang terkait langsung dengan tindak pidana pembunuhan tersebut, tap terdapat puluhan personil Polri yang ditengarai melanggar etik dan dugaan menghalang-halangi proses penyidikan. Atas peristiwa ini, diperlukan penguatan aturan obstruction of justice dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berpandangan kasus tewasnya Brigadir J menjadi bagian uji coba penggunaan Pasal 221 KUHP tentang obstruction of justice terhadap pelaku yang justru berasal dari aparat penegak hukum. Ke depannya ketentuan pidana terhadap obstruction of justice masih perlu diperkuat dalam upaya pembaharuan hukum pidana melalui RKUHP yang prosesnya masih bergulir di DPR. 

“Kedepannya ketentuan pidana terhadap obstruction of justice juga masih perlu diperkuat,” ujarnya kepada Hukumonline, Jumat (12/8/2022).

Kendati demikian, Eras begitu biasa disapa, menyayangkan belum diaturnya secara khusus terkait pidana rekayasa kasus atau rekayasa bukti (fabricated evidence). Bagi Eras, perbuatan merekayasa kasus atau barang bukti tergolong dalam upaya menghalang-halangi proses peradilan atau obstruction of justice. Dalam konteks obstruction of justice yang merekayasa kasus atau barang bukti bisa dalam bentuk menyampaikan bukti, keterangan palsu atau mengarahkan saksi agar memberikan keterangan palsu dalam proses peradilan pidana.

Dia menyarankan agar tindakan pelaku yang melakukan obstruction of justice tersebut perlu diperberat hukumannya, apalagi dilakukan oleh pejabat aparat penegak hukum dalam menjalankan proses peradilan. Selain itu perlu diperberat lagi sepanjang pejabat negara melakukan obstruction of justice dengan tujuan agar seseorang yang tidak bersalah menjadi dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

“Atau dilakukan dengan maksud agar seseorang mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang seharusnya,” kata dia.

Baca Juga:

Tags:

Berita Terkait