Perlu Pengaturan Majelis Hakim Ad hoc dalam Revisi UU MK
Terbaru

Perlu Pengaturan Majelis Hakim Ad hoc dalam Revisi UU MK

Hakim itu tidak boleh mengadili perkara terkait dirinya sendiri sesuai dengan asas nemo judex in causa sua yang tujuannya agar menghindarkan hakim dari keberpihakan dalam menjalankan tugasnya.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Arsul Sani. Foto: Tangkapan layar youtube
Arsul Sani. Foto: Tangkapan layar youtube

Sejatinya Mahkamah Konstitusi tak boleh menangani, memeriksa dan mengadili perkara pengujian materil dan formil UU yang terkait langsung dengan hakim MK. Karenanya diperlukan adanya majelis hakim ad hoc yang menangani dan memutus perkara pengujian materil UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Anggota Komisi III Arsul Sani menjadi orang di DPR yang menyuarakan agar tak bolehnya hakim MK menangani pengujian materil UU MK atau UU yang terkait dengan hakim konstitusi. Memang belum terdapat aturan larangan tersebut dalam UU. Tapi dengan adanya upaya Revisi Keempat terhadap UU 24/2003 menjadi momentum perlunya menuangkan pengaturan majelis hakim ad hoc.

“Hakim itu tidak boleh mengadili perkaranya (terkait dirinya, red) sendiri. Sehingga kalau ada uji materi terhadap UU MK tidak sepatutnya hakim MK yang permanen yang kemudian memeriksa dan mengadili,” ujar Arsul dalam rapat kerja Komisi III dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (29/3/2023).

Baca juga:

Larangan hakim menangani perkara yang berkaitan dengan profesinya sejalan dengan asas nemo judex in causa sua. Bagi Arsul Asas tersebut mestinya dipegang oleh setiap hakim, khususnya MK.  Nemo judex in causa sua merupakan asas yang melarang adanya hakim menangani perkaranya sendiri. Tujuannya agar menghindarkan hakim dari keberpihakan dalam menjalankan tugasnya.

Tapi, di lain sisi terdapat pula asas ius curia novit atau curia novit jus. Dengan kata lain hakim dianggap mengetahui semua hukum. Dengan demikian, hakim sedianya tak boleh pula menolak, memeriksa dan mengadili perkara yang masuk ke pengadilan. Dengan begitu hakim berkewajiban menyelesaikan perkara yang disodorkan kepadanya.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) itu berpendapat, berdasarkan alasan itulah diperlukan pembentukan majelis hakim ad hoc supaya kedua asas tersebut dapat diimplementasikan di lapangan dalam menangani perkara uji formil maupun materil terhadap UU MK. Maklum, praktik pengujian UU MK yang dimohonan masyarakat kerap kandas akibat hakim konstitusi sendiri yang menangani, memeriksa dan mengadili.


“Ini harus kita selesaikan di revisi UU MK nanti,” katanya.

Dia mengusulkan agar dalam revisi keempat UU 24/2003 mengatur pembentukan majelis hakim ad hoc dalam menangani perkara uji formil maupun materil UU MK, UU No.18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Kemudian UU No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung serta UU lainnya yang terkait dengan lembaga peradilan.

Lagi-lagi politisi Partai Persatuan Pembangunan itu meminta agar pemerintah dapat mempertimbangkan pengaturan majelis hakim ad hoc dalam revisi keempat UU 24/2003. “Kala (menguji, red) UU MK, hars dibentuk majelis hakim ad hoc. Bukan permanent sitting judges yang ada yang ada di (perkara) UU MK, sehingga tidak melanggar asas nemo judex tadi,” katanya.

Menanggapi pandangan Arsul, Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly  prinsipnya sependapat. Hanya saja, usulan Arsul tersebut perlu didalami dengan baik, termasuk berbagai kajian dan diskusi. Sebetulnya, kata Yasonna, perdebatan tidak bolehnya hakim konstitusi menangani, memeriksa dan mengadili perkara terkait dengan MK sudah mengemuka saat revisi UU MK sebelumnya.

“Setuju Pak Arsul UU MK perlu kita dalami dengan baik.  Tentu ini memerlukan pemilikiran, sama perdebatan dulu tentang apakah hakim MK dapat memtuskan lebih dari apa yang diminta dan lain-lain. Ini perlu kita bahas lagi nanti,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait