Perlunya Keberpihakan Pada Konsumen Produk Halal di Aturan Turunan UU Cipta Kerja
Utama

Perlunya Keberpihakan Pada Konsumen Produk Halal di Aturan Turunan UU Cipta Kerja

Diperlukan pengawalan dan pengawasan yang kuat dalam penyusunan aturan turunan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 6 Menit

Namun secara keseluruhan, terdapat beberapa isu yang selama ini ramai diperdebatkan, yakni ketentuan mengenai Sertifikasi Auditor Halal, Akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan Ketentuan Kerjasama dengan Lembaga Sertifikasi Halal Internasional serta Halal Self Declare atau pernyatasn sendiri kehalalan produk khusus UKM dan  Sistem Jaminan Halal memposisikan  BPJPH menjadi Badan yang super body, sekaligus  menempatkan  MUI seperti menjadi subordinat atau  bawahan BPJPH dalam kontek Pelaksanaan Sistem Jaminan Halal.

“Semua kewenangan MUI yang dulu telah diatur di dalam UU JPH, yakni UU No.33 Tahun 2014 telah habis dilucuti,” katanya kepada Hukumonline, Rabu (21/10).

Ikhsan menilai jika dalam konteks UU Cipta Kerja pada klaster Jaminan Produk Halal tersebut menggunakan pendekatan yang humanis dan tetap takdzim kepada MUI sebagai representasi ulama dikedepankan sebagai hal yang sangat penting bagi personal yang ada di BPJPH, maka dia meyakini dapat memuluskan implementasi undang-undang tersebut.

Akan tetapi bila yang terjadi justru kekakuan dan kebekuan seperti yang ditunjukkan BPJPH selama 3 tahun terakhir ini, maka timbul kekhawatiran jika UU Omnibus pada kluster Jaminan Produk Halal ini semakin sulit untuk dilaksanakan.

Terkait Self Declare, Ikhsan mengatakan hal ini bertentangan dengan UU JPH. Namun UU Cipta Kerja justru menghalalkan mekanisme tersebut, yang pada dasarnya melemahkan MUI dan Kementerian Agama yang secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ hingga tingkat Kecamatan di seluruh Indonesia.

“Dan yang menjadi persoalan utama, halal itu bukan masalah perizinan yang dalam Omnibus Law dimasukan di dalam kluster Perizinan dan kemudahan berusaha. Tetapi halal itu adalah Hukum syariah (Islam) yang menjadi domain dan kewenangan Ulama,” tegasnya.

Seperti diketahui, pemerintah terus berkomitmen dalam memperkuat sektor UMKM halal dan mendorong pengembangan bisnis produk halal UMK melalui penyederhanaan dan percepatan proses perizinan, fasilitasi biaya sertifikasi halal bagi UMK yang ditanggung oleh pemerintah, dan mekanisme self-declare bagi pelaku UMK untuk produk tertentu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh Badan BPJPH.

Selain itu, pemerintah juga berupaya menjamin kemudahan bisnis produk halal melalui penetapan kehalalan produk oleh MUI di provinsi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Aceh yang dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal. Perluasan Lembaga Pemeriksa Halal juga dilakukan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan (ormas), Perguruan Tinggi Negeri, Perguruan Tinggi Swasta di bawah lembaga keagamaan atau Yayasan Islam.

“Kolaborasi antara pemerintah, UMKM, swasta, dan akademisi maupun ormas amat dibutuhkan untuk menciptakan terobosan solusi terbaik dalam mengakselerasi pengembangan produk halal dan transformasi digital di Indonesia,” ucap Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Tags:

Berita Terkait