Perlunya Penerapan Prinsip Universalisme Proses Kepailitan bagi Negara ASEAN
Terbaru

Perlunya Penerapan Prinsip Universalisme Proses Kepailitan bagi Negara ASEAN

Menurut Darminto, negara anggota ASEAN perlu meningkatkan kesadaran untuk mulai menganut prinsip universalisme regional dalam hal kepailitan. Hal tersebut akan saling mendukung dengan usaha tercapainya Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Ferinda K Fachri
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Ekonomi Internasional FH Undip Dr. Darminto Hartono. Foto: FKF
Pakar Hukum Ekonomi Internasional FH Undip Dr. Darminto Hartono. Foto: FKF

Pakar Hukum Ekonomi Internasional Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (FH Undip), Dr. Darminto Hartono, menerangkan bahwa kondisi ASEAN dalam perekonomian global ekspor impor sepanjang tahun 2017-2019 mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Akan tetapi, ia mensinyalir adanya risiko usaha berupa kepailitan atau bankruptcy insolvency seiring dengan pertumbuhan di ASEAN.

“Sebab-sebab kepailitan (itu sendiri ialah) keadaan ketika pihak yang berutang, seseorang atau badan usaha, tidak dapat menyelesaikan pembayaran terhadap utang yang diberikan dari pemberi utang atau kreditur,” ujar Dr. Darminto Hartono dalam orasi ilmiahnya dalam Dies Natalis FH Undip ke-66, Senin (9/1/2023).

Menurutnya, terdapat 2 faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kepailitan yakni faktor eksternal dan faktor internal. Sebagai contoh faktor eksternal ialah market failure dan high inflasion. Lain halnya dengan faktor internal yang dapat berupa seperti managerial capability, market insensitivity, maupun lack of innovation.

Salah satu contoh kasus terjadi pada tahun 2000-an dimana inflasi tinggi menerpa, berimbas pada sejumlah perusahaan yang tidak dapat menyelesaikan usahanya. Dari kebangkrutan yang terjadi, kemudian berimplikasi pada pemilik perusahaan atau investor asing meninggalkan Indonesia tanpa proses kepailitan di Indonesia.

“Ketentuan Indonesia yang mengatur kepailitan, insolvency law, di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajah Belanda. Wetboek van Koophandel (Kitab UU Hukum Dagang) secara khusus (sudah mengatur) mengenai ketidakmampuan berdagang dari tahun 1905 sampai 1998,” kata dia dalam orasinya yang berjudul 'Aspek Internasional dalam Bankruptcy sebagai sebuah Model untuk ASEAN'.

Pasalnya, barulah pada tahun 1998 pemerintah menerbitkan Perppu No.1 Tahun 1998 tentang Kepailitan. UU Kepailitan sendiri lalu diterbitkan pada tahun 2004 silam, melalui UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU).

Darminto lantas menjelaskan adanya asas-asas hukum internasional dalam insolvency law. Pertama, teritorialisme yang asasnya multiple proceeding dan memakan waktunya lebih lama. Umumnya, paling cepat proses yang memakai asas ini 6 bulan, namun bisa lebih lama. “Kalau universalisme itu terkait dengan single administration region, itu lebih cepat,” ujarnya.

Dalam konteks negara-negara ASEAN, untuk dapat mewujudkan ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), tak dapat ditampik perihal adanya perbedaan sistem hukum antara negara-negara anggota. Hal tersebut jelas merupakan suatu keniscayaan. Untuk itu, ia memandang dapat dilakukan state by state approach serta perbedaan ini didukung oleh kedaulatan negara anggota ASEAN.

“Pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN meningkat, iklim ekonomi positif regional. Seiring peningkatan investasi terdapat risiko insolvensi yang rentan disebabkan banyak faktor. Namun berkaca dari kasus yang terjadi pada Indonesia dan Vietnam, sebaiknya negara anggota meningkatkan kesadaran untuk mulai menganut prinsip universalisme regional. Hal ini saling mendukung dengan usaha tercapainya ASEAN Economic Community yang menjadi tujuan negara anggota ASEAN mencapai kemakmuran bersama,” katanya.

Tags:

Berita Terkait