Perpres Lumpur Sidoarjo Bukti Pengakuan Kesalahan
Berita

Perpres Lumpur Sidoarjo Bukti Pengakuan Kesalahan

Pengamat lingkungan Universitas Airlangga, Suparto Wijoyo, Perpres Lapindo masih dibutuhkan untuk membuktikan kesalahan perusahaan itu. Masalahnya, Perpres No. 14 Tahun 2007 itu sudah diajukan uji materiil. Bagaimana kalau MA membatalkannya?

Ali
Bacaan 2 Menit

 

Ketentuan ini dinilai Suparto merupakan indikasi kesalahan Lapindo. Meski begitu, ia juga mengakui bahwa akta jual beli yang dipakai sebagai ganti rugi memang dianggap kurang menguntungkan. Bahkan beberapa waktu lalu, pengacara publik YLBHI Astuti Listyaningrum menilai pola penyelesaian seperti itu sangat condong pada kepentingan Lapindo.

 

Salah satu korban lumpur Lapindo, Hadi Suwandi berpendapat Lapindo justeru selalu berlindung di bawah Perpres BPLS ketika menghadapi warga. Ketika warga menuntut ganti rugi, Lapindo selalu menggunakan tameng Perpres BPLS, ujarnya.

 

Aktivis Jatam Hendrik Siregar juga tidak sependapat dengan Suparto. Hendrik mengingatkan Perpres BPLS telah membebani APBN, dimana negara harus membayar ganti rugi dari  suatu kejahatan yang diduga dibuat oleh sekelompok orang.

 

Pasal 15 Perpres BPLS

Ayat (3) Biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007, setelah ditandatanganinya Peraturan Presiden ini, dibebankan pada APBN.

 

Ayat (6) Biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.

 

Bahkan, lanjut Hendrik, untuk menutupi pembiayaan terkait pasal di atas, pemerintah harus berhutang. Itu akibatnya kalau negara ikut menanggung, ujarnya. Kalau negara menanggung, berarti kita juga menanggung, tambahnya.

Sekadar mengingatkan, sebelum Perpres BPLS terbit, Presiden terlebih dahulu meneken Keppres No. 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Para korban menolak kehadiran Keppres karena dinilai tidak berpihak pada korban. Korban lumpur minta Keppres ini dicabut, dengan datang ke Jakarta, ujar Hadi.

 

Kemudian muncul Perpres BPLS. Meski sempat ada penolakan dari warga, Hadi mengakui pada akhirnya sebagian warga menerimanya. Semula, kata Hadi, warga ingin dibayar tunai. Belakangan, yang muncul adalah pembayaran di muka sebesar 20 % dari total kewajiban. Yang membuat warga berang, lanjut Hadi, draft perjanjian antara warga dengan Lapindo. Di dalam draf perjanjian tidak jelas pembayaran sisa 80%. Sehingga 80% itu masih ngambang, ungkapnya. 

 

Tags: