Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia Dinilai Hambat Investasi
Utama

Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia Dinilai Hambat Investasi

Diminta untuk direvisi karena banyak ketentuan yang kontraproduktif terhadap kelancaran masuknya investasi, melahirkan ketidakpastian baru hingga berdampak pada hilangnya momentum bisnis.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

(Baca: Implikasi Perpres Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Privat Komersial)

 

Untuk itu walaupun Perpres ini baru diundangkan, Ia menganjurkan sebaiknya dipikirkan ulang. Bila niatnya untuk melestarikan bahasa Indonesia, sebaiknya tak dirumuskan dalam bentuk aturan melainkan imbauan saja.

 

“Harusnya Presiden meminta kepada Kemenkumham untuk merevisi Perpres ini karena bertolak belakang sekali dengan kehendak Presiden untuk memenangkan investasi dari negara-negara tetangga. Kalau tidak, saya khawatir investasi malah tak masuk,” tukasnya.

 

(Baca: Jokowi Teken Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia)

 

Managing Partner Assegaf Hamzah & Partner, Bono Daru Adji, turut mengkritisi absennya keterlibatan pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan investor asing dalam pembentukan Perpres a quo. Setidaknya, katanya, perwakilan 10 atau 20 lawfirm  di Indonesia atau perusahaan besar yang aktif di dunia komersial internasional seharusnya dilibatkan pemerintah dalam membahas setiap aturan yang berhubungan dengan investasi.

 

“Karena mereka yang banyak berinteraksi dengan investor dan mengetahui apa saja yang menjadi concern mereka agar mau berinvestasi di Indonesia,” katanya.

 

Ketidak hati-hatian pemerintah dalam menyusun Perpres 63/2019, dinilainya malah melahirkan kekisruhan di kalangan investor. Padahal, pemerintah sedang giat-giatnya menggalakan kemudahan berinvestasi. “Tidak bisa segala sesuatu dipandang dari segi sentimen bahasa. Jangan sampai dunia komersial malah dibatasi oleh hal-hal yang sifatnya kontraproduktif,” tegasnya.

 

Wajib Tapi Tak Diatur Norma Sanksi

Menariknya, kendati Perpres 63/2019 ini mewajibkan pembuatan kontrak dalam bahasa Indonesia terlebih dahulu, kemudian dipadankan dalam bahasa asing, tidak ada satupun sanksi tegas yang diatur terkait pelanggaran akan kewajiban itu. Hal ini diakui oleh Kepala Seksi Penyiapan Konsepsi Rancangan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Hendra Kurnia Putra.

 

Dalam diskusi tersebut, Hendra dibanjiri pertanyaan soal dampak apa yang bisa menimpa pelaku usaha, sementara tak melakukan kewajiban sesuai Perpres a quo pun tak ada sanksi yang bisa dikenakan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait