Perpres Penggunaan TKA Potensi Langgar Empat UU Ini
Berita

Perpres Penggunaan TKA Potensi Langgar Empat UU Ini

Mulai UU Ketenagakerjaan, UU Jasa Konstruksi, hingga UU Arsitek. Alasan pemerintah untuk meningkatkan investasi pun dipandang tidak ada kaitannya dengan mempermudah TKA masuk ke Indonesia.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Foto: RES
Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Foto: RES

Peraturan Presiden (Perpres) No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) masih menjadi perbincangan di kalangan parlemen. Perpres ini seolah tidak berpihak kepada kalangan buruh/pekerja dalam negeri (lokal) yang haknya dijamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, Perpres ini dinilai mempermudah masuknya TKA, sementara tenaga kerja lokal masih kesulitan mendapatkan pekerjaan.     

 

Wakil Ketua Komisi V DPR, Sigit Sosiantomo menyesalkan sikap pemerintah yang mempermudah masuknya tenaga kerja asing (TKA) untuk bekerja di Indonesia melalui terbitnya Perpres No. 20 Tahun 2018 ini. Baginya, Perpres tersebut berpotensi melanggar sejumlah undang-undang (UU) yang telah memberi perlindungan terhadap tenaga kerja lokal. Bahkan, pihaknya bersama pemerintah sudah sepakat memperketat masuknya TKA.

 

“Kami kecewa dengan kebijakan ini. Sikap pemerintah kok malah seperti ini. Seharusnya yang dibuat bukannya lebih melindungi tenaga kerja lokal, malah membuka ‘kran’ seluas-luasnya bagi TKA,” ujarnya di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (12/4/2018). Baca Juga: Kalangan Parlemen Kritik Perpres Kemudahan Masuknya TKA

 

Menurut dia, kebijakan mempermudah perizinan TKA masuk ke Indonesia ini berpotensi melanggar empat UU ini. Pertama, melanggar UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kedua, melanggar UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Ketiga, melanggar UU No. 6 Tahun 2017 tentang Arsitek. Keempat, melanggar UU No.11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran.

 

Sebab, melalui empat UU tersebut telah mengatur pengetatan terhadap TKA masuk ke Indonesia. Bahkan, terhadap badan usaha jasa konstruksi asing yang menggarap proyek di Indonesia harus memprioritaskan pekerja lokal ketimbang pekerja asing. Sebab, sejak awal DPR berupaya mengantisipasi serbuan tenaga kerja asing di era pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla melalui berbagai peraturan perundang-undangan perundangan.

 

“Dalam UU Jasa Konstruksi terdapat pembatasan terhadap TKA yang dapat bekerja di Indonesia. Aturan penggunaan TKA itu diatur ketat untuk dapat melindungi tenaga kerja lokal,” ujar Sigit.  

 

Selain itu, dalam UU tentang Arsitek, terhadap tenaga arsitek asing yang akan melaksanakan profesinya di Indonesia mesti bekerja sama dengan arsitek Indonesia. Sedangkan pihak penanggung jawabnya yakni arsitek Indonesia. “Ini semua untuk membatasi TKA dan memprioritaskan tenaga kerja kita. Mengapa sikap pemerintah justru sebaliknya, mengeluarkan Perpres yang lebih mempermudah TKA bisa bekerja di Indonesia?”

 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu meyakini tenaga kerja lokal di Indonesia masih banyak yang memiliki kemampuan setara dengan TKA. Bahkan, mungkin lebih di atas TKA. Namun adanya Perpres No. 20 Tahun 2018 justru menyulitkan tenaga kerja lokal mendapatkan pekerjaan. Hal itu tergambar dari minimnya penyerapan tenaga kerja Indonesia, bahkan minus untuk sektor konstruksi.

 

Menciderai konstitusi

Anggota Komisi XI DPR, Heri Gunawan berpendapat Perpres 20/2018 justru “menciderai” konstitusi. Sebab, konstitusi mengamanatkan negara atau pemerintah menjamin hak-hak warga negara atas lapangan kerja dan berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

 

Meski Perpres kemudahan masuknya TKA ke Indonesia ini dapat ditafsirkan beragam. Namun, melihat isi Perpres No. 20 Tahun 2018, pemerintah dapat dinilai memiliki keberpihakan karena terlampau memberi keistimewaan kepada TKA, sementara tenaga kerja lokal diabaikan atau tidak diberdayakan secara optimal. “Jika sudah begitu, buat apa investasi jika tak mampu mengangkat harkat dan martabat anak bangsa?”

 

Bagi Heri, alasan pemerintah bahwa Perpres tersebut bisa meningkatkan nilai investasi tidak dapat dibenarkan. Sebab, Perpres tersebut tidak ada hubungannya antara peningkatan investasi dengan kemudahan TKA masuk ke Indonesia. Lagipula, tidak ada jaminan dimudahkannya TKA masuk ke Indonesia bakal meningkatkan investasi. “Itu logika yang sesat (pikir). Justru, seharusnya investasi berdampak terserapnya tenaga kerja lokal (lebih banyak lagi),” lanjutnya.

 

Menurutnya, dimudahkannya TKA bekerja di Indonesia hanya akan “memperparah” angka pengangguran di Indonesia. Menurutnya berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, per Maret 2018, jumlah tenaga kerja asing di Indonesia sudah mencapai 126 ribu. “Saya khawatir adanya Perpres No. 20 Tahun 2018 itu justru akan memperlebar masuknya TKA yang bekerja di Indonesia. Ujungnya, kesempatan kerja bagi warga negara Indonesia makin tipis,” ujarnya.

 

Dia melanjutkan berdasarkan hasil riset Center of Reform on Economic (CORE), anggaran infrastruktur yang digenjot pemerintah tidak serta merta menambah/memperluas lapangan kerja. Misalnya, di bidang sektor konstruksi, CORE mencatat penyerapan tenaga kerja untuk sektor konstruksi minus 7 persen.

 

Sementara berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2017 menunjukkan angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,04 juta. Setidaknya, terdapat penambahan jumlah angka pengangguran sebanyak 10 ribu orang dalam setahun terakhir.

 

Bersandar hasil survei dari dua lembaga tersebut membuktikan masih dibutuhkannya banyak lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja lokal. Terlebih, kata Sigit, dari 121 juta penduduk yang bekerja, sebanyak 69,02 juta orang atau 57,03 persen penduduk bekerja di sektor informal (bukan formal). “Ini kan sangat menyakitkan hati rakyat jika justru lapangan kerja baru diberikan pada TKA,” kata Sigit.

 

Dia menyarankan seharusnya pemerintah lebih fokus meningkatkan daya saing pekerja Indonesia sehingga bisa terserap di berbagai lapangan kerja, bukan sebaliknya mengeluarkan kebijakan yang kontraproduktif. “Kami menyayangkan kebijakan pemerintah yang akan mempermudah izin bagi TKA,” katanya.

 

Seperti diketahui, akhir Maret 2018, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Perpres No.20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Perpres No. 20 Tahun 2018 itu banyak memuat ketentuan baru yang berbeda dari peraturan sebelumnya yakni Perpres No. 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan TKA Serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping. Misalnya, sekarang pengesahan Rencana Penggunaan TKA (RPTKA) sekaligus dianggap sebagai izin mempekerjakan TKA (IMTA). Di aturan sebelumnya, RPTKA digunakan sebagai dasar untuk memperoleh atau menerbitkan IMTA.

 

Perpres No. 72 Tahun 2014 mewajibkan pemberi kerja TKA mengantongi IMTA, kecuali bagi perwakilan negara asing yang menggunakan TKA sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. Sekarang ketentuan itu diubah, pemberi kerja tidak wajib memiliki RPTKA untuk mempekerjakan TKA dengan jabatan direksi atau komisaris pada pemberi Kerja TKA, pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing atau TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah.

 

Perpres No. 20 Tahun 2018 juga mengatur untuk keadaan mendesak dan darurat, pemberi kerja bisa langsung mempekerjakan TKA tanpa terlebih dulu mendapat pengesahan RPTKA. Permohonan pengesahan RPTKA bisa diajukan paling lambat 2 hari kerja setelah TKA yang bersangkutan bekerja.

Tags:

Berita Terkait