Pertanggungjawaban Hukum Robot AI Pelaku Tindak Pidana
Kolom

Pertanggungjawaban Hukum Robot AI Pelaku Tindak Pidana

Penerapan strict liability untuk kasus-kasus di masa depan yang mungkin berkaitan dengan robot sosial bisa dipertimbangkan.

Bacaan 4 Menit

Di sisi lain dari perspektif keadilan restoratif, dialog tidak dapat dilakukan dengan robot karena mereka hanya sebuah produk kebendaan tanpa otak biologis yang menghasilkan “kesadaran”. Tidak ada bahan-bahan kimia dalam kandungan otak biologis yang menghasilkan keinginan dan emosi. Inilah yang membedakan seorang manusia dengan robot.

Saat tidak ada keinginan atau emosi, maka tidak ada yang perlu dikoreksi dengan dialog. Selain itu, hingga saat ini robot AI tidak dapat memiliki rekening bank independen. Jadi, tidak dapat pula dimintai pertanggungjawaban dalam bentuk ganti rugi atas perkara hukum.

Tanggung Jawab Produsen

Setelah pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, penulis mengusulkan untuk menerapkan strict liability untuk kasus-kasus di masa depan yang mungkin berkaitan dengan robot sosial. Perusahaan dan pihak-pihak dalam value chain of production robot sosial adalah yang harus bertanggung jawab apabila kasus hukum terjadi. Setidaknya ada dua cara untuk menerapkan hal ini.

Pertama, menegakkan prinsip transparansi di sektor swasta dalam kaitannya dengan mekanisme internal robot sosial. Ini akan mengarah pada audit/investigasi yang lebih baik terhadap perilaku robot berdasarkan pemrograman internalnya. Jadi, setiap kali sesuatu terjadi, penyelidikan dapat dilakukan secara menyeluruh ke dalam algoritma AI. Selanjutnya tanggung jawab dapat diberikan kepada entitas yang bertanggung jawab khusus di dalam value chain of production tersebut di atas.

Masalahnya adalah hal ini dapat menyebabkan penyelidikan/penyidikan perkara yang terlalu rinci. Kecenderungannya adalah penekanan berlebihan pada pemberian tanggung jawab kepada manusia. Beberapa pimpinan perusahaan mungkin sengaja membuat Standard Operating Procedure (SOP) yang sangat rinci dan mendelegasikan Key Performance Index (KPI) penting ke pegawai terendah. Tentu saja tujuannya untuk menghindari tanggung jawab apabila masalah hukum terjadi.

Selain itu, programmer di dalam perusahaan mungkin menjadi paranoid karena mereka membantu produksi robot sosial. Mereka akan terlibat sebagai orang yang ikut bertanggung jawab apabila ada kasus hukum yang dilakukan robot sosial.

Cara kedua mungkin lebih mudah, yaitu membuat Special Purpose Entity untuk memberikan ganti rugi apabila ada perkara hukum terkait dengan robot sosial. Perusahaan-perusahaan di dalam value chain of production robot sosial dapat bekerja sama untuk membangun entitas semacam ini. Gunanya adalah menangani tuntutan hukum serta kewajiban pemberian ganti rugi. Perlu dicatat, bahkan dalam kasus pidana tidak semuanya harus diselesaikan dengan menghukum natuurlijk persoon. Hal ini terutama berlaku untuk kasus pidana yang berkaitan dengan korporasi.

Dua usulan solusi di atas dapat disesuaikan dengan konteks budaya dan preferensi masyarakat setempat. Tentu saja tujuan akhirnya untuk mengoptimalkan upaya penegakan hukum.

*)Timothée Kencono Malye, S.H., LL.M., Hakim Pengadilan Negeri Teluk Kuantan.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait