Pimpinan KPK yang Jadi Terdakwa Tak Otomatis Berhenti
Utama

Pimpinan KPK yang Jadi Terdakwa Tak Otomatis Berhenti

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pimpinan KPK yang menjadi terdakwa tidak otomatis berhenti atau diberhentikan tetap. Pimpinan KPK diberhentikan tetap bila sudah ada putusan inkracht yang menyatakannya bersalah.

Ali/CR-8
Bacaan 2 Menit
MK kabulkan sebagian permohonan pengujian UU KPK <br> yang diajukan Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. <br> Foto: Sgp
MK kabulkan sebagian permohonan pengujian UU KPK <br> yang diajukan Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah. <br> Foto: Sgp

Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, Chandra M Hamzah tak henti-hentinya mengucapkan puji syukur dan terima kasih. “Alhamdulillah. Terima kasih Mahkamah Konstitusi,” ucapnya berulang kali. Ya, Chandra beserta koleganya Bibit Samad Riyanto baru saja mendapat kado istimewa dari MK. Majelis Hakim Konstitusi baru saja mengabulkan sebagian permohonan keduanya terkait pengujian UU KPK.

 

Mahkamah memutuskan Pasal 32 ayat (1) huruf c UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat atau conditionally unconstitutional. Artinya, pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional bila tak mengikuti syarat yang telah diterapkan oleh MK dalam putusan ini. Mahkamah menyatakan bahwa pimpinan KPK baru bisa berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan yang inkracht.

 

“Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK harus dimaknai pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Mahfud MD, di ruang sidang MK, Rabu (25/11).

 

Pasal 32 ayat (1) huruf c itu sejatinya berbunyi 'Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena: menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan'. Berdasarkan pasal ini, setiap pimpinan KPK bisa langsung diberhentikan begitu ditetapkan sebagai terdakwa. Namun, Mahkamah baru saja memberi tafsir terhadap pasal ini. Pimpinan KPK yang menjadi terdakwa tidak otomatis berhenti, tetapi harus terlebih dahulu dinyatakan bersalah melalui putusan yang inkracht.

 

Mahkamah berpendapat penerapan Pasal 32 ayat (1) huruf c itu sangat rawan untuk disalahgunakan. Yakni, dengan cara merekayasa kriminalisasi pimpinan KPK untuk mengeluarkannya dari lembaga pembasmi koruptor itu. Suasana rekayasa itu, lanjut Mahkamah, sangat jelas terlihat dalam kasus Chandra-Bibit. Apalagi setelah rekaman rekayasa itu dibuka di sidang MK sebelumnya.

 

“Mahkamah berpendapat bahwa terdapat fakta petunjuk terjadinya rekayasa atau sekurang-kurangnya pembicaraan antara oknum penyidik atau oknum aparat penegak hukum dengan Anggodo Widjojo, menurut Mahkamah berpotensi sebagai rekayasa agar para pemohon dijadikan tersangka dan terdakwa dalam kasus tertentu,” ujar Hakim Konstitusi Akil Mochtar saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.     

Halaman Selanjutnya:
Tags: