Pimpinan KPK yang Jadi Terdakwa Tak Otomatis Berhenti
Utama

Pimpinan KPK yang Jadi Terdakwa Tak Otomatis Berhenti

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, pimpinan KPK yang menjadi terdakwa tidak otomatis berhenti atau diberhentikan tetap. Pimpinan KPK diberhentikan tetap bila sudah ada putusan inkracht yang menyatakannya bersalah.

Ali/CR-8
Bacaan 2 Menit

 

Dalam putusan ini seorang Hakim Konstitusi, Muhammad Alim, memiliki alasan berbeda atau concurring opinion. Ia setuju dengan amar putusan yang dibacakan oleh Mahfud, tetapi Alim mempunyai alasan sendiri. Ia melihat Pasal 32 ayat (1) huruf c itu memberikan perlakuan hukum yang berbeda antara pimpinan KPK dengan pejabat negara yang lain.

 

Hampir semua pejabat negara memang baru bisa diberhentikan dari jabatannya bila pejabat itu telah dinyatakan bersalah melalui putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Alim menunjuk hakim konstitusi, anggota BPK, hakim agung, anggota Komisi Yudisial, para menteri dan para jaksa sebagai contoh.

 

“Pemberhentian mereka, yang berhubungan dengan tindak pidana, hanya dapat dilakukan setelah terbukti melakukan tindak pidana. Yakni, setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, karena hanya pengadilan yang berwenang menyatakan seseorang bersalah. Lalu, mengapa terhadap pimpinan KPK diperlakukan ketentuan hukum yang berbeda?” ujar Alim beretorika.

 

Karenanya, Alim mengaku tak setuju dengan Pasal 32 ayat (1) huruf c yang menyatakan pimpinan KPK otomatis diberhentikan begitu dinyatakan sebagai terdakwa tindak pidana. Ia sependapat dengan delapan koleganya yang menyatakan pasal itu inkonstitusional bersyarat.

 

Tak Berlaku untuk Antasari

Ditemui usai sidang, Mahfud MD menegaskan putusan tersebut tidak berlaku untuk mantan Ketua KPK Antasari Azhar. “Ini tidak berlaku untuk dia,” ujarnya. Pasalnya, ketika Antasari diberhentikan oleh Presiden berdasarkan Pasal 32 ayat (1) huruf c ini, pasal tersebut masih berlaku. “Pasal itu baru 'dibatalkan' sekarang,” tuturnya. Artinya, putusan ini tidak berlaku surut.

 

Antasari memang boleh jadi menjadi korban pertama Pasal 32 ayat (1) huruf c tersebut. Pasalnya, begitu ia dinyatakan sebagai terdakwa kasus pembunuhan, presiden langsung mengeluarkan surat keputusan yang memberhentikannya secara tetap. Padahal, belum jelas apakah kelak Antasari divonis bersalah atau tidak oleh pengadilan.

 

Kabag Litigasi Depkumham, Mualimin Abdi juga berpendapat senada. Ia menegaskan putusan ini tidak berlaku surut. Menurutnya, yang bisa dilakukan oleh Antasari adalah menggugat SK pemberhentian dirinya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) bila kemudian ia dinyatakan tidak bersalah oleh pengadikan. “Dia hanya bisa melakukan itu,” ujarnya. Secara garis besar, Mualimin mengatakan sangat mengapresiasi putusan ini. 

Halaman Selanjutnya:
Tags: