Pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa memang terus menimbulkan pro kontra hingga saat ini. Ada yang menolak, ada juga yang mendukung. Bagi yang kontra berlindung di Pasal 263 KUHAP bahwa yang berhak mengajukan PK adalah terpidana dan/atau ahli warisnya. Tak ada disebutkan jaksa bisa mengajukan PK.
Meski dalam prakteknya, banyak yang memprotes langkah jaksa ini, toh jaksa tetap terus mengajukan PK. Para jaksa menunjuk kasus Mochtar Pakpahan sebagai preseden dibolehkannya PK oleh jaksa. Mochtar yang dijerat delik penghasutan terhadap penguasa umum adalah orang pertama di Indonesia yang masuk penjara gara-gara PK oleh jaksa.
Tetapi tahukah anda bagaimana PK oleh jaksa itu berawal? Bagaimana proses lahirnya PK oleh jaksa itu? Advokat Senior Luhut Pangaribuan menceritakan asal muasal preseden yang sampai saat ini kontrovesial di dunia hukum Indonesia itu. “Saya mau cerita pengakuan seorang jaksa –yang menangani kasus Mochtar-,” tuturnya dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan hukumonline, Kamis (25/3).
Luhut memang tak mau menyebutkan nama jaksa yang dimaksudnya. Namun, kejadiannya terjadi di Medan. Jaksa itu mengaku ditelepon oleh Jaksa Agung yang kala itu dijabat oleh Singgih.
“Apakah ngga bisa nih dimasukin penjara Mochtar Pakpahan. Begitu dialognya,” sebut Luhut. Jaksa itu tentu saja pusing tujuh keliling. Karena, Pasal 263 KUHAP secara jelas mengatakan yang berhak mengajukan PK adalah terpidana dan/atau ahli warisnya.
Ketentuan itu berbunyi “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.