PMA Sektor Hortikultura Bukan Persoalan Konstutisionalitas
Berita

PMA Sektor Hortikultura Bukan Persoalan Konstutisionalitas

Pemerintah mengklaim sejak terbitnya UU Hortikultura perusahaan perbenihan dalam negeri berkembang pesat.

ASH
Bacaan 2 Menit
PMA Sektor Hortikultura Bukan Persoalan Konstutisionalitas
Hukumonline
Pemerintah menilai permohonan uji materi Pasal 100 ayat (3) dan Pasal 131 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura tidak relevan. Sebab, kedua pasal yang mengatur pembatasan penanaman modal asing (PMA) maksimal 30 persen di sektor usaha holtikultura bukan menyangkut persoalan konstitusionalitas. Pemerintah menilainya sebagai penerapan norma.

Pemerintah menegaskan seluruh dalil para pemohon (petani) yang menganggap adanya kerugian konstitusional tidak tepat. “Karena sama sekali tidak terkait persoalan konstitusionalitas norma yang bertentangan dengan UUD 1945,” kata Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Mualimin Abdi. saat menyampaikan keterangan atau tanggapan pemerintah dalam sidang pengujian UU Hortikultura di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (10/4).

Pasal 100 ayat (3) UU Hortikultura menyebutkan besarnya penanaman modal asing (PMA) dibatasi paling banyak 30 persen. Lalu, Pasal 131 ayat (2) menyebutkan dalam jangka waktu 4 tahun sesudah Undang-Undang ini mulai berlaku, PMA yang sudah melakukan penanaman modal dan mendapatkan izin usaha wajib memenuhi ketentuan lain dalam UU Hortikultura, yakni Pasal 100 ayat (2), (3), (4), (5).

Mualimin menegaskan pengujian kedua pasal itu terkait erat dengan kebijakan pembentuk undang-undang (open legal policy) untuk menentukan pilihan. Apabila di kemudian hari pilihan kebijakan tersebut diubah, ditambah, atau dikurangi, perubahannya bisa dilakukan melalui mekanisme legislative review.

Pemerintah justru memandang perlunya pengaturan hortikultura secara khusus untuk mendorong kreativitas produsen benih hortikultura dalam negeri agar dapat tidak bergantung pada benih impor. Tanaman hortikultura salah satu kekayaan hayati sumber daya alam Indonesia yang sangat penting sebagai sumber pangan bergizi, bahan obat nabati yang bermanfaat bagi kualitas masyarakat.

Mualimin menjelaskan Pasal 100 ayat (1) UU Hortikultura hakikatnya mengutamakan penanaman modal dalam negeri (PMDN). Prioritas itu berkaitan dengan penggunaan dan pemanfataan produk dan jasa hortikultura dalam negeri berdasarkan asas kedaulatan dan kemandirian. Kedua asas ini dapat direalisasikan melalui dunia usaha (hortikultura) yang mengutamakan kekuatan sumber daya nasional. “Asas itu penting dalam dunia usaha hortikultura sebagai amanat Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945,” lanjutnya.

Demikian pula Pasal 131 ayat (2) dalam jangka waktu 4 tahun mewajibkan penanam modal asing sudah menanamkan modalnya dimaksudkan agar pengalihan saham milik asing kepada pengusaha nasional tidak melampaui pembangunan 5 tahun (pergantian kabinet. Sehingga sebelum kabinet berakhir, kedua pasal itu sudah dapat dijalankan.

Sidang yang langsung dipimpin Hamdan Zoelva ini ditunda dua pekan berikutnya untuk mendengarkan ahli dan saksi yang diajukan pemohon serta mendengarkan keterangan pihak terkait (Koalisi Kedaulatan Petani Pemulia Tanaman Indonesia).

Permohonan ini diajukan tiga petani bernama Fahrudin, Jaenudin AM, Sukra bin Jasmita dan Ketua Umum Asosiasi Produsen Perbenihan Hortikultura Afrizal Gindow. Sebenarnya, mereka tidak mempersoalkan aturan pembatasan PMA itu. Hanya saja, para pemohon hendak meluruskan pemahaman yang keliru lantaran memasukkan sektor perbenihan hortikultura dalam skema pembatasan PMA.

Menurutnya, masuknya pembatasan modal di sektor pembenihan hortikultura akan mengganggu ketersediaan benih unggul karena Indonesia belum mampu memproduksi benih unggul sendiri. Aturan itu akan membuat Indonesia terpaksa memakai benih unggul impor yang bisa menyebabkan keterbatasan dan ketersediaan buah dan sayuran berkualitas.

Faktanya, Indonesia masih bergantung pada kemampuan riset dan teknologi yang dimiliki investor asing. Seharusnya, pemerintah tidak mengatur pembatasan PMA, melainkan mengatur sanksi bagi investor asing yang lambat dalam melakukan transfer manajemen dan alih teknologi yang bermanfaat bagi para pemohon. Karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan kedua pasal itu ditafsirkan secara konstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “tidak berlaku bagi sektor pembenihan”.

Tidak bertentangan
Usai persidangan, Dirjen Hortikultura Kementan Hasanudin Ibrahim menilai kedua pasal itu tidak bertentangan dengan konstitusi karena menyangkut praktik penerapan norma. “Dua peraturan ini bukan persoalan konstitusional, tetapi kaitannya dengan praktik perundang-undangan biasa. Penentuan besaran 30 (PMA) : 70 (PMDN) itu didasarkan pada naskah akademik pengalaman empiris di dunia usaha (hortikultura),” kata Hasanudin.

Dia mengatakan waktu empat tahun seharusnya sudah cukup bagi pelaku usaha untuk melakuan divestasi sahamnya sampai 30 persen. “Saya pikir itu tidak terlalu sulit kalau hanya 30 persen. Sejak terbitnya UU Hortikultura perusahan perbenihan dalam negeri berkembang pesat. Sebelumnya PMDN hanya 10, sekarang sudah 39 unit. PMA hanya 14 unit tidak berkembang lagi,” katanya.

“Kalau nanti ada masalah dalam penerapannya, tidak hanya masyarakat yang gugat, tetapi pemerintah juga. Tetapi pemerintah melihat selama ini pertumbuhan PMDN tambah besar dan share market perbenihan hortikultura makin diisi oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri. Artinya ada dampak positif.”
Tags:

Berita Terkait