Polemik Moratorium Ekspor Nikel, Saat Hukum Dikesampingkan
Berita

Polemik Moratorium Ekspor Nikel, Saat Hukum Dikesampingkan

Ketentuan waktu ekspor konsentrat yang diatur dalam seluruh peraturan di atas, dianulir dan berubah menjadi 29 Oktober 2019 lalu oleh kesepakatan.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Namun, ketika batas waktu ini akan selesai, Pemerintah menerbitkan PP No. 1 Tahun 2017 yang di dalamnya juga memberikan relaksasi kepada pelaku usaha untuk mengekspor konsetrat hingga Januari 2022. Belakangan, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 memangkas durasi ini hanya sampai 31 Desember 2019. Terakhir, ketentuan waktu ekspor konsentrat yang diatur dalam seluruh peraturan di atas, dianulir dan berubah menjadi 29 Oktober 2019 lalu oleh kesepakatan yang terjadi di kantor BKPM sehari sebelumnya.

Direktur eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (PUSHEP), Bisman Bahktiar menyebutkan inkonsistensi ini sudah terjadi sejak awal hingga sekarang, dan ditutup oleh kesepakatan yang dibangun dalam pertemuan tertutup. “Dari Undang-Undang, (dirubah oleh) PP, (kemudian) Permen, PP (lagi), Permen, (dan terkahir diubah oleh) kesepakatan,” ujar Bisman.

Kerugian

Tentu saja hal ini mencerminkan wajah ketidakpastian hukum yang sangat mengganggu iklim usaha di tanah air. Sekertaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidi Katrin Lengkey dalam sebuah diskusi di Jakarta bahkan menyebutkan rata-rata kerugian pelaku usaha akibat percepatan larangan ekspor nikel ini mencapai angka Rp500 milyar.

Kerugian tersebut dihitung dari biaya delay yang harus dibayar pelaku usaha saat hendak mengirimkan biji nikel dengan menggunakan kapal-kapal laut, namun tertahan di pelabuhan akibat penghentian ijin ekspor. “Dari kami sudah ada 20 kapal yang tertahan, bongkar muat tidak bisa, keluar juga tidak bisa. Kalau dihitung-hitung lima hari saja penambang rugi Rp500 miliar," ungkap Meidy, Rabu (7/11).

(Baca juga: Pemerintah Tepis Pandangan Pengusaha Minerba).

Ia memprediksi kerugian yang akan dialami oleh pelaku usaha bisa lebih besar lagi jika diperhitungkan dengan 64 kapal yang saat ini berada di Sulawesi dan sedang dalam proses transaksi namun terhenti akibat adanya larangan ekspor tersebut. Situasi lapangan ini menurut Meidy baru yang berasal dari Sulawesi, belum termasuk wilayah lain di Indonesia. Jika diperhitungkan juga dengan wiayah lain, Meidy memastikan angka kerugiannya bisa jauh lebih besar.

“Ini biaya vessel siapa yang mau bayar kalau dihentikan. Vessel itu banyak, di Sulsel ada 64 unit. Ada juga 20 vessel tersebar di Konawe Utara," ujar Meidy. Untuk itu ia mengingatkan kepada pemeritah agar lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kebiajakan. Apalagi, statement kepala BKPM yang berdasarkan kesepakatan dengan sejumlah pihak tersebut hingga kini tidak jelas diatur dalam ketentuan apa.

Direktur Deregulasi BKPM, Juliot mengungkapakan salah satu alasan dipercepatnya kebijakan larangan ekspor nikel. Menurut Juliot, sepanjang blan September 2019, ekspor biji nikel Indonesia melonjak dari 30 juta ton menjadi 100 juta ton. Hal ini menunjukkan adanya indikasi perusahaan pemilik tambang yang memiliki ijin smeltr memanfaatkan celah peraturan dengan mengambil biji nikel kuota dari perusahaan lain.  Dalam pelaksanaan tidak ada pembatasan, diindikasikan kadar kurang dari 1,7 persen banyak diekspor. “Sehingga terjadinya kelanggkaan biji nikel bagi industry dalam negeri dan dapat mematikan industry dalam negeri,” ujar Juliot.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhaq menyebutkan, hingga saat ini pihaknya belum mendapat surat resmi dari BKPM berisi pembatasan ekspor yang sudah dilarang sejak pekan lalu. Namun jika berdasarkan legalitas maka Permen ESDM No. 11 Tahun 2019 sampai saat ini masih tetap berlaku.

"Saya pun dengarnya dari media belum ada surat formal yang dikeluarkan Kepala BKPM kepada Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan, ESDM, Menteri Perindustrian sehingga para menteri akan berkumpul akan membuat satu koordinasi apakah betul-betul dipercepat lagi," kata Yunus.

Tags:

Berita Terkait