Politisasi di Balik Penyelenggaraan VoIP Masih Terus Berlangsung
Fokus

Politisasi di Balik Penyelenggaraan VoIP Masih Terus Berlangsung

Akhir tahun lalu, bisa diibaratkan sebagai masa paceklik bagi pelaku usaha di sektor telekomunikasi. Pasalnya, di sana-sini hampir tidak ada lahan lagi bagi pelaku usaha baru selain perusahaan raksasa, seperti Telkom dan Indosat. Apalagi setelah pemerintah (Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi) menyadari begitu besar potensi VoIP untuk menambah devisa negara.

Ram/APr
Bacaan 2 Menit

Satu parameter berkaitan dengan kerugian negara dalam perundangan Indonesia adalah UU No 31 tahun 1999 Tentang Pidana Korupsi. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa siapapun dia, orang maupun korporasi yang dianggap memiliki potensi menimbulkan kerugian keuangan negara, dipidana sesuai dengan perbuatan yang dilakukan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dalam undang-undang tersebut.

Namun, apakah tepat menggunakan dalil bahwa penyelenggaraan VoIP akan mengakibatkan kerugian negara seperti yang dimaksud dalam undang-undang tersebut. Apalagi jika dalil tersebut justru dikedepankan untuk meredam aktifitas pelaku usaha kelas menengah untuk bersaing di pasar yang sama.

Jika demikian, maka yang terjadi adalah barrier to entry bagi pelaku usaha yang bergerak di bidang jasa VoIP. Kecuali, lima perusahaan yang ditetapkan dalam Kepdirjen No. 159 Tahun 2001.

Keadaannya demikian ironis ketika salah satu operator terkuat di Indonesia telah mendahului melakukan promosi bisnis VoIP melalui beberapa media. Padahal operator lainnya masih dalam ancang-ancang untuk melakukan usaha VoIP. Mungkin ini yang disebut kompetisi setengah hati dalam bisnis telekomunikasi di Indonesia.

Bisa dibayangkan, jika operator kelas teri disandingkan dengan operator raksasa dengan alasan telah merugikan keuangan negara. Maka cepat atau lambat, akan tercipta satu dominasi pasar oleh satu operator saja.

Karena itu, sangat tidak adil jika penyelenggara VoIP dituding telah merugikan keuangan negara. Apalagi jika berakhir dengan pemberangusan penyelenggara VoIP tanpa izin. Beberapa waktu lalu, beberapa penyelenggara di luar lima perusahaan sempat diisolasi, meski akhirnya dibolehkan untuk beroperasi kembali.

Tampaknya sangat berlebihan jika ada pihak yang mengatakan bahwa operator VoIP, di luar lima perusahaan yang ditetapkan dalam Kepdirjend No. 159 tahun 2001, telah mengakibatkan kerugian negera.

Halaman Selanjutnya:
Tags: