Potongan Gaji 3 Persen untuk Tapera Dinilai Bebani Pengusaha dan Buruh
Utama

Potongan Gaji 3 Persen untuk Tapera Dinilai Bebani Pengusaha dan Buruh

Sejak awal asosiasi pengusaha dan serikat buruh menolak program Tapera sebagaimana daitur UU 4/2016 dan peraturan turunannya. Menurut Apindo, pemerintah seharusnya bisa lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan melalui program manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan pekerja.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi perumahan
Ilustrasi perumahan

Kalangan dunia usaha membutuhkan kepastian hukum dan regulasi yang mendukung kegiatan usaha. Sayangnya, pemerintah tak jarang menerbitkan aturan yang justru membebani pelaku usaha, seperti program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Program itu mengatur ada iuran yang disebut dengan istilah simpanan wajib bagi peserta sebesar 3 persen dari upah yang diterima sebulan.

Pasal 1 poin 11 Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera mengatur peserta adalah setiap warga negara Indonesia dan asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 bulan dan telah membayar simpanan Tapera.

Ketua Umum DPN Apindo Shinta W Kamdani mengatakan sejak terbit UU No.4 Tahun 2016 tentang Tapera, Apindo tegas menyuarakan keberatan. Bahkan Apindo sudah melakukan sejumlah langkah mulai dari menyelenggarakan diskusi, koordinasi, dan mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo. Sikap yang sama juga ditunjukkan kalangan serikat buruh, yang tegas menolak program Tapera.

“Program Tapera dinilai memberatkan beban iuran baik dari sisi pelaku usaha dan pekerja/buruh,” kata Shinta W Kamdani dalam keterangan tertulis yang diterima Hukumonline, Rabu (29/5/2024).

Baca Juga:

Shinta mengusulkan pemerintah untuk mempertimbangkan dan mengkaji kembali PP 21/2024. Sebab, iuran atau simpanan Tapera yang dibebankan 2,5 persen kepada pekerja dan 0,5 persen pemberi kerja dari upah pekerja sebulan tidak diperlukan karena bisa memanfaatkan sumber pendanaan yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.

Menurut Shinta, pemerintah bisa lebih mengoptimalkan dana BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu selaras dengan PP No.55 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang mengatur maksimal 30 persen dapat digunakan untuk program manfaat layanan tambahan (MLT) perumahan pekerja. Selama ini dana MLT tersedia dalam jumlah yang besar, tapi pemanfaatannya sedikit.

Untuk mendapat fasilitas perumahan bisa memanfaatkan MLT dari sumber dana program Jaminan Hari Tua (JHT) yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan. Setidaknya dana tersebut bisa digunakan untuk 4 manfaat yakni pinjaman KPR maksimal Rp500 juta, pinjaman uang muka perumahan sampai Rp150 juta, pinjaman renovasi perumahan sampai Rp200 juta, dan fasilitas pembiayaan perumahan pekerja/kredit konstruksi. BPJS Ketenagakerjaan juga sudah menjalin kerja sama untuk menjalankan program tersebut.

Tags:

Berita Terkait