PPATK Waspadai Aliran Uang Pilkada Serentak 2020
Berita

PPATK Waspadai Aliran Uang Pilkada Serentak 2020

Dalam momen Pilkada terdapat risiko-risiko pelanggaran hukum seperti politik uang dengan tindakan uang mahar, sumbangan kampanye hingga memberi imbalan kepada pemilih.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Dia juga berharap agar pengawasan terkait rekening pemilu tersebut diperkuat sehingga dapat menjadikan Pilkada 2020 bersih dan transparan.  

 

(Baca: Beragam Hal yang Harus Dihindari dalam Pilkada 2020)

 

Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengatakan, praktik-praktik politik uang masih terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Mahfud menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara pada acara Workshop Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKSI), di Jakarta Barat, Senin (24/2).

 

Menurut Mahfud, politik uang mulai terjadi sejak jaman Orde Baru, dimana money politic atau politik uang berlangsung di DPRD. "Kalau dulu money politic dalam pemilihan kepala daerah itu ada di DPRD, sekarang berpindah ke pimpinan partai," ujar Mahfud seperti dilansir Antara.

 

Mahfud menyebut di zaman Orde Baru kekuasaan DPRD dianggap buruk karena diberi kekuasaan untuk memilih kepala daerah. Dengan kekuasaan itu, sering terjadi praktik money politic untuk memilih kepala daerah.

 

Mahfud mengatakan, politik uang pernah terjadi di Pilkada Yogyakarta dan Jawa Timur pada zaman Orde Baru. Kala itu, anggota DPRD diberi uang untuk meloloskan kepala daerah.

 

"Mulai di daerah saya di Yogyakarta. Kepala Daerah mau pemilihan, anggota DPRD-nya 45, sebanyak 23 orang dikarantina, dibayar kamu harus pilih ini. Di Jawa Timur sana di mana terjadi. Jadi kemungkinan ya kepala daerah lalu terjadi jual beli pada waktu itu dan itu menjadi bahasan sehari-hari. Kalau begitu kebablasan DPRD yang zaman orde baru itu. Sekarang diperkuat menjadi legislatif menjadi tulang punggung, sekarang menjadi alat jual beli politik untuk jabatan," katanya.

 

Menurut dia, hanya dengan bermodalkan Rp5 miliar, seseorang bisa menjabat sebagai kepala daerah. Transaksi jual beli jabatan itu bahkan dilakukan secara terang-terangan. "Itulah untuk jabatan gubernur misalnya waktu itu gampang sekali orang bayar Rp5 miliar satu suara asal memilih gubernur ini. Transaksinya di lobi hotel yang dikontrol oleh ketua fraksi partai," ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait