Prof. M. Amin Suma: Nikah Beda Agama Hanya Sebagai Pintu Darurat
Profil

Prof. M. Amin Suma: Nikah Beda Agama Hanya Sebagai Pintu Darurat

Bangkai yang haram saja bisa dimakan kok kalau dalam situasi darurat.

Oleh:
M-22/Ali/Amr
Bacaan 2 Menit
Prof Amin Suma. Foto: AMR
Prof Amin Suma. Foto: AMR

Debat seputar nikah beda agama kembali muncul beberapa bulan belakangan ini. Pemantiknya adalah sekelompok mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) yang mengajukan judicial review Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Tentu saja, layaknya sebuah pro kontra, ada yang setuju, ada yang tidak setuju.

Hukumonline.com berkesempatan mewawancarai Guru Besar sekaligus mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (Syarif Hidayatullah) Jakarta, Prof. M. Amin Suma seputar pro-kontra ini. Amin memaparkan pandangannya dalam sebuah interview di rumah salah seorang putranya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (5/11). Berikut kutipan wawancaranya:

Bagaimana pandangan Anda seputar pernikahan beda agama dari sudut pandang hukum Islam?
Ya, seperti yang diurai di buku itu (Penerbit Literati bekerja sama dengan Hukumonline menerbitkan buku Tanya Jawab tentang Nikah Beda Agama Menurut Hukum Indonesia. Prof Amin Suma menyampaikan pendapatnya dalam tersebut, -red). Barangkali kalau dari sisi hukum formal, perkawinan beda agama itu tidak bisa mudah serta merta dikatakan haram, dikatakan boleh, dikatakan apa, sangat bergantung kasusnya.

Oleh karena itu, berangkat dari kenyataan itu, saya mencoba menganalisa terutama berangkat dari rukun nikah. Itu kan atau bahasa nikah, rukun nikah yang disepakati oleh seluruh ulama itu kan ijab dan kabul. Ijab dan kabul dilakukan oleh para pihak yang melakukan perkawinan atau pasangan calon suami istri. Nah, lalu bagaimana dengan perkawinan beda agama?

Saya coba lihat dari sisi syarat sah nikah baik dari perspektif fiqih atau perskeptif Kompilasi Hukum Islam (KHI). Tidak ada hitam-putih mengatakan bahwa syarat sah nikah itu harus sama agama. Lalu kemudian kalau begitu tidak tercantum dalam syarat sah nikah, lalu kesamaan agama ini menjadi kajian apa? Ternyata menjadi kajian kafa’ah. Persesuaian atau kecocokan antara (masing-masing,-red) calon. Kafa’ah ada beberapa, ada perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh. Tetapi, lagi-lagi tidak semua kafa’ah itu disetujui. Yang disepakati hanya kafa’ah fiddin. Kesamaan agama.

Dari situlah pintu masuknya. Kufu itu istilah fiqih. Calon mempelai itu seyogyanya sejatinya yang sesuai dari sisi pendidikan, dari sisi, bahkan ada yang menyebutkan dari sisi ketanah-airan, etnik, dan lain-lain. Tapi beda-beda pendapat, yang disepakati adalah sama agamanya. Itu yang namanya kafa’ah fiddin. Persesuaian atau kesamaan agama. Cuma kesamaan agama ini tidak dimasukan ke dalam syarat sah nikah. Apalagi di rukun nikah. Dari situ lah kira-kira kita melihat kenapa ini dikatakan sah. 

Kira-kira aturan turunannya lah. Kemudian saya menyimpulkan seperti dalam buku itu, perkawinan beda agama ini tidak serta merta menjadi boleh. Tidak serta merta menjadi haram. Tidak serta merta menjadi wajib, tidak serta merta menjadi sunnah. Sesuai dengan lima kaidah hukum itu. Bergantung sama kasusnya.

Misalnya kasus seperti apa pernikahan beda agama diperbolehkan?
Ya, kalau saya mengatakan boleh itu misalnya tidak ada pasangan nikahnya kalo tidak beda agama. Misalnya, dia cari muslim/muslimah ngga ketemu. Sulit kan, masa ngga boleh menikah dengan orang yang beda agama, padahal tidak ada di situ lawan jenisnya (yang seagama,-red). Dan ini pernah ketika di Australia, di Adelaide kalau ngga salah. Itu ada satu kawasan mayoritas muslim turunan Indonesia. Umumnya di sana cari perempuan itu sulit. Terutama perempuan muslimah itu. Maka dia yang mau menikah bagi yang mampu secara ekonomi ada yang banyak ke Indonesia, pulang. Setidaknya mencari perempuan yang sama agamanya, muslimah.

Tapi, nggak semua berkemampuan seperti itu. Misalnya, kasus seperti itu kok kita paksakan dengan muslimah padahal tidak ada muslimahnya. Itu misalnya kasus yang real ya. Tinggal sekarang kalau orang di Indonesia, kan tidak kekurangan stok kan. Masih banyak. Kenapa mesti cari yang lain. Artinya situasional kan. Ngga bisa digebyar riah ngga boleh. Dan tidak pula juga lalu boleh, kapan saja siapa saja tidak. Kasuistis.

Jadi, tidak ada lagi perdebatan apakah laki-lakinya harus muslim dan perempuannya non muslimah?
Nggak ada lagi perdebatan itu, intinya dilihat lagi kasusnya. Karena dia butuh dan tidak ada barangnya kan gimana. Sudah lagi tidak mempersoalkan itu. Ya itu kasus nyatanya.

Jadi, bila kasusnya seperti itu, menurut Anda boleh?
Kalau dia dalam dirinya itu, misalnya ada niatan tetap dia menikahnya bukan karena dorongan birahi. Tapi ada motivasi dalam dirinya. Bagaimanapun dia memiliki kemauan dalam dirinya untuk membawa ke dalam satu iman. Kan perbuatan hati tidak ada yang tahu. Bergantung niatnya. Niat itu urusan hati. Ngga ada yang tahu. Ngga boleh kita mengatakan, menuduh si A ini perkawinannya semata-mata karena ini dikatakan haram. Ngga bisa, karena ini perbuatan hati.

Jadi, keberadaan peraturan perkawinan, terutama KHI yang melarang perkawinan beda agama itu ya tidak pandang bulu. Ya itu memang kebijakan, kesepakatan ulama khususnya dan pakar hukum umumnya. Itu pilihan hukum yang sudah ditetapkan. Tapi dimana-mana yang namanya pengecualian tetap ada. Mustahil tidak ada itu.

Menurut Anda, apakah perlu dilakukan revisi?
Ya, tentunya dipandang perlu. Setidak-tidaknya kan memang masyarakat ada desakan seperti itu. Dimana-mana yang namanya hukum kan selalu ada pengecualian. Ngga ada hukum yang mati yang kaku, kecuali kasus tertentu.

Saat ini Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sedang diuji di Mahkamah Konsitusi (MK), bagaimana pendapat Anda?
Kalau itu kewenangannya MK. Hakim saya kira punya hak untuk menafsirkan. Ini murni pemikiran saya, pendapat saya yang tadi itu lah. Artinya, ketetapan Pasal 2 ayat (1) itu jelas masih berlaku sampai sekarang ini. Tidak bisa tekstual. Karena yang dimaksud dengan hukum agamanya masing-masing itu kalau saya menafsirkannya bagi umat Islam itu sesuai dengan fiqh Munakhahat. Kan tidak ada hukum positifnya, adanya fiqh munakhahat. Menurut fiqh munaqahat, umumnya ulama fiqh mengatakan sah perkawinan itu yang beda agama. Kalau, saya pada kasus tertentu sah itu perkawinannya, legal maksudnya. Cuma tetap haram.

Iya, mungkin agak kabur memahaminya. Tetap haram walaupun situasionalnya seperti yang tadi. Tetap haram, tetap berdosa. Yang pengecualian yang sulit mencari itu. Karena memang itu darurat. Bangkai aja bisa dimakan kok kalo haram. Ini bukan bangkai, ini manusia. Nah itu bedanya.

Apa pengecualian ini secara norma perlu diatur?
Itu perlu diatur, tapi yang diberi wewenang pengadilan. Ngga bisa diserahkan kepada pakar hukum. Sebenarnya KHI itu kan disiapkan menjadi hukum terapannya peradilan agama. Tapi, sampai sekarang belum disahkan dan masuk prolegnas. Perlu diatur itu, karena perkawinan beda agama belum diatur. Belum ada. Kan saya tulis di sana kawin campur itu. Jadi memang belum ada, karena tahun 1974 perseteruan sangat kuat. Yang demo ke DPR juga orang islam. Dan saat itu belum ada yang menikah beda agama. Sekarang ternyata perkembangannya lain. Apapun motivasinnya seakan kebutuhan masyarakat. Yang penting diatur tegas.

Maksudnya, gerbang darurat itu dijadikan norma?
Kayak poligami. Itu kan pengecualian. Kita kan menganut monogami, tapi negara memberikan tempat. Setidaknya paham agama masih memungkinkan. Dalam kasus tertentu dimungkinkan lewat izin pengadilan. Andaikata saya jadi hakim, ngga semuanya ditolak. Selalu pengecualian itu ada. Logika hukum sekarang jangan diamburadulkan. Andaikata ada orang idiot atau kurang, kalau dibolehkan apa bisa? Pengecualian itu banyak. Hukum yang pelik kan kasusnya. Norma kan mudah.

Kalau sudah bicara hak selesai sudah. Zaman sekarang kan hak yang dituntut sudah selesai. Tapi dalam hukum islam kan ada kewajiban. Ada hak kewajiban asasi, itu sudah melekat.

Apa menurut Anda ini cukup mendesak untuk segera diatur?
Selama ini belum diatur dengan undang-undnag persoalannya berjalan terus. Ngga selesai-selesai. Penyebabnya kenapa ini marak, karena belum ada aturan jelas. Kalau sudah diatur, lalu ada yang keberatan, itu biasa. Kalau hukum itu kan mengatur dan memaksa. Pada prinsipnya harus seagama sesuai Pasal 2 ayat (1). Pada keadaaan tertentu dimungkinkan yang bersangkutan mendapatkan izin dari pengadilan yang berwenang. Kan ada jalan keluarnya kan.

Apakah pengaturan ini perlu dimasukkan ke dalam revisi UU Perkawinan?
Kalau kata saya, bisa jadi iya. Hemat saya lebih kepada waktu itu (UU Perkawinan disahkan pada 1974,-red), maaf saya terus terang lebih yang membutuhkan UU Perkawinan adalah umat islam. Karena yang non muslim sudah punya aturan sendiri, yang muslim ini belum ada aturannya. Penduduk indonesia dalam melaksanakan perkawinan banyak penyimpangan, sehingga anak usia 7 – 8 tahun dinikahkan. Alasannya karena nggak ada hadis nabi yang mengatur. Itu pikirannya pikiran zaman itu. Padahal faktornya bisa jadi faktor ekonomi atau pendidikan, tapi muaranya ke situ. Tahun 1970-an itu kata agama itu identik dengan islam. Maaf, pengadilan agama itu ya pengadilan islam. Begitu juga KUA atau TPA.

Zaman dulu menyebut hindu itu, pasti Hindu Bali. Ada Balinya. Zaman sekarang berbeda, agama tidak bisa dilokalisir. Pergaulan semakin luas, tidak ada larangan kan. Interaksi, jalinan komunikasi terjadilah bibit cinta tanpa disemai. Sampai nikah ternyata beda. Tahun 70-an seperti itu kecenderungannya.

Tags:

Berita Terkait