Proses Legislasi Ugal-Ugalan, UU Cipta Kerja Dipersoalkan ke MK
Utama

Proses Legislasi Ugal-Ugalan, UU Cipta Kerja Dipersoalkan ke MK

Para pemohon mengajukan uji formil. MK diminta menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD Tahun 1945.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Setelah permohonan Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa, sejumlah warga negara mempersoalkan UU Kerja Cipta yang baru saja disetujui menjadi UU dalam rapat paripurna pada 5 Oktober 2020. Ada lima pemohon yakni Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas (karyawan/mantan pekerja PKWT); Novita Widyana (pelajar SMK); Elin Dian Sulistiyowati (mahasiswa); Alin Septiana (mahasiswa); Ali Sujito (mahasiswa). Para pemohon telah mendaftarkan permohonan UU yang belum ditandatangani Presiden dan bernomor ini di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (15/10/2020).    

Beleid ini menerapkap metode omnibus law untuk menyederhanakan pengaturan dengan mengubah 76 UU dalam satu UU Cipta Kerja yang terbagi atas 11 klaster yakni: penyederhanaan perizinan tanah; persyaratan investasi; ketenagakerjaan; kemudahan dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengendalian lahan; kemudahan proyek pemerintah; Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).  

Mereka fokus pada pengujian formil karena proses pembentukan UU Cipta Kerja melanggar Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur Pasal 5 huruf c, huruf f, huruf g, dan Pasal 72 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan seperti diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 (UU P3) sebagai amanat Pasal 22A UUD 1945. Seperti asas kejelasan tujuan (dibentuknya UU Cipta Kerja ini); kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; keterbukaan.

Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap rancangan undang-undang (RUU) dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan, “Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU.” Pasal 72 ayat (2) UU P3 menyebutkan, “Penyampaian RUU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waku paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.”  

Pada 5 Oktober 2020, DPR Bersama Presiden telah menyetujui RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang dengan draf RUU Cipta Kerja sebanyak 905 halaman. Namun, Badan Legislatif mengatakan draf yang sebanyak 905 halaman itu belum final, dan sedang dilakukan penyempurnaan/finalisasi dari sisi redaksional (salah ketik/typo). Hal ini dikatakan Anggota Baleg DPR Firman Soebagyo di beberapa media. (Baca Juga: Pengujian UU Cipta Kerja Potensi Sulit Dikabulkan, Ini Tiga Indikator Menurut Pakar)  

Setelah itu beredar draf sebanyak 1.035 halaman yang dikatakan oleh Sekjen Indra Iskandar sebagai draf final RUU Cipta Kerja. Namun setelah dicek antara draf RUU Cipta Kerja versi 905 halaman hasil persetujuan bersama DPR dan Presiden pada 5 Oktober 2020 dengan draf RUU Cipta Kerja 1.035 bertambah 130 halaman. Jika dibandingkan, keduanya terdapat beberapa perubahan substansi diantaranya:

Hukumonline.com

“Hampir semua masyarakat menyaksikan proses pembentukan peraturan perundang-undangan, memiliki pandangan yang sama yakni dilakukan secara ugal-ugalan dan menunjukan kesewenang-wenangan, termasuk adanya pelanggaran fatal dengan mengubah substansi setelah persetujuan bersama antara Presiden dan DPR pada 5 Oktober 2020,” ujar salah satu kuasa hukum para pemohon, Viktor Santoso Tandiasa, Sabtu (17/10/2020).   

Kemudian Sekjen DPR RI Indra Iskandar pada selasa, 13 Oktober 2020 kembali meralat, draf yang beredar dengan jumlah 812 halaman merupakan hasil perbaikan terkini (final) yang dilakukan DPR. Artinya pasca disetujui bersama oleh DPR dan Presiden pada 5 Oktober 2020 dengan menggunakan draf RUU Cipta Kerja dengan jumlah 905 halaman, telah terjadi dua kali perubahan draf.

Meskipun perubahan pasca disetujui hanyalah perubahan teknis penulisan, dan ukuran kertas dari ukuran A4 ke ukuran Legal. “Perubahan draf itu secara nyata bukan terkait teknis penulisan, namun terkait substansi. Hal ini sudah melanggar norma Pasal 72 ayat (2) UU P3 beserta penjelasannya. Ini preseden buruk dalam proses legislasi dimana pembentuk UU membohongi rakyat dan terkesan seperti sedang bermain ‘akal-akalan’,” tudingnya.

Menurutnya, adanya perubahan substansi terhadap RUU setelah persetujuan bersama DPR dan Presiden melanggar tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebab, bila ada perubahan substansi atas RUU, seharusnya dibahas bersama. Lalu, perubahan itu disetujui lagi bersama DPR dan Presiden. Waktu 7 hari itu untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan ‘teknis penulisan RUU’, bukan berkaitan substansi.

“Pembentuk UU melakukan pelanggaran Pasal 22A UUD 1945 dalam pembentukan UU Cipta Kerja ini,” sebutnya.

Apabila UU Cipta Kerja ini dinyatakan tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945, MK tidak perlu khawatir karena tidak akan menimbulkan kekosongan hukum. MK dalam pertimbangan hukumnya bisa menyatakan pasal-pasal yang telah diubah dalam UU Cipta Kerja berlaku kembali jika MK mengabulkan uji formil ini  

“Dari seluruh uraian itu, menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD Tahun 1945.”

Dia melanjutkan jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil, proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai konstitusi, pengujian formil itu harus dapat dilakukan.

“Sepanjang UU, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil atau prosedural itu dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, peraturan perundang-undangan itu dapat dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil.”

MK sebagai The Guardian of Constitution tentu harus mengambil keputusan yang berani dan tegas demi tegaknya konstitusi atas pembentukan UU Cipta Kerja ini yang secara terang benderang cacat prosedural di depan seluruh mata rakyat Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Proses pengujian ini sangat penting mengingat sedang gencar-gencarnya hastag #MosiTidakPercaya yang disematkan kepada lembaga pembentuk UU yakni Presiden dan DPR.

“Tinggal bagaimana hakim MK menilainya dan akankah hakim MK memandang hal itu bukan bentuk pelanggaran? Ini saatnya MK membuktikan tetap pantas diberi kepercayaan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk menjadi The Guardian of Constitution,” harapnya.

Tags:

Berita Terkait