Proses Perizinan Lingkungan Titik Rawan Terjadinya Tipikor
Berita

Proses Perizinan Lingkungan Titik Rawan Terjadinya Tipikor

Banyak penduduk miskin yang berada di lokasi melimpahnya SDA seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi kegiatan usaha pertambangan. Foto: RES

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan proses perizinan menjadi titik rawan terjadinya tindak pidana korupsi (tipikor) yang berujung pada kerusakan lingkungan.

 

"Dalam kajian KPK terkait pengelolaan SDA (Sumber Daya Alam), proses perizinan menjadi titik rawan terjadinya tindak pidana korupsi yang berujung pada kerusakan lingkungan," ucap Alex seperti dikutip Antara, Kamis (27/2).

 

Hal tersebut dikatakannya saat memberikan sambutan dalam diskusi kelompok terarah (focus group discussion) bertema "Menjerakan Pelaku Kejahatan Sumber Daya Alam (SDA) dan Lingkungan Hidup (LH) melalui Pendekatan Pemulihan Kerugian Negara serta Pemulihan Kerusakan Lingkungan" yang diselanggarakan KPK di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Rabu (26/2).

 

Alex menjelaskan meski sudah 74 tahun Indonesia merdeka, namun angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi. Ironisnya, banyak penduduk miskin yang berada di lokasi melimpahnya SDA seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

 

"Dengan mudah kita bisa melihat kemiskinan ada di sana, di sekitar lokasi tambang atau hutan yang seharusnya bisa menjadi sumber untuk menyejahterakan mereka," ucap Alex.

 

Jika dicermati, kata dia, tata ruang yang tidak jelas justru menjadi celah korupsi bagi kepala daerah untuk memperjualbelikan izin. "Tata ruang akhirnya menjadi 'tata uang'. Uang untuk mendapatkan izin," ujar dia.

 

Berdasarkan hal itu, KPK mengajak berbagai pihak seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan(KLHK), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta masyarakat sipil bersinergi memberikan efek jera kepada pelaku tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan.

 

"Kalau kami bisa menindak korupsinya, hadirin sekalian bisa menindak perilaku perusakan lingkungannya, itu akan menjadi sangat efektif. Bisa membuat mereka jera," kata Alex.

 

Untuk diketahui, semenjak 2009 KPK mencanangkan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA). Selama empat tahun terakhir (2016–2019) ada potensi pendapatan dan penyelamatan keuangan negara sejumlah total Rp16,17 triliun.

 

(Baca: Cegah Kerugian Negara, KPK Beri Rekomendasi Pengelolaan JKN dan SDA)

 

Dalam kurun waktu tersebut, ada sejumlah kajian yang dilakukan KPK di sektor SDA. Misalnya pada 2016 ada kajian soal Perkebunan dan Sistem Pengelolaan Sumber Daya Air; pada 2017 Sistem Pengelolaan Kawasan Hulu Sumber Daya Air; 2018 Sistem Tata Kelola Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup; dan pada 2019 KPK bersurat kepada Presiden terkait dengan Pengusahaan Pertambangan Batubara.  Dalam surat ini, KPK mempertimbangkan beberapa aturan dalam revisi PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

 

Sementara itu, Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK Jasmin Ragil Utomo mengatakan masih ada kendala dalam gugatan perdata SDA dan lingkungan hidup.

 

Di antaranya, kata dia, masih relatif sulitnya memperoleh data aset calon tergugat atau termohon eksekusi untuk keperluan sita jaminan/sita eksekusi, pemulihan fungsi lingkungan hidup memakan waktu lama sementara pelaksanaan eksekusi harus tuntas.

 

Kemudian, belum adanya ketentuan mengenai selisih antara dana yang digunakan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan nilai putusan jika kurang atau lebih.

 

"Intinya, meski nilai kerugian lingkungan telah diputuskan hakim, eksekusi pemulihan dan penggantian kerugian tidak mudah dilaksanakan," kata Jasmin.

 

Sedangkan peneliti dari Auriga, Grahat Nagara, menyarankan beberapa hal dalam menghadapi munculnya tantangan upaya hukum untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup. Menurut dia, perlu dilakukan penyitaan aset untuk memaksa pelaksanaan eksekusi.

 

"Selain itu, perlu mendefinisikan ulang kerusakan lingkungan sebagai bagian kerugian negara serta penjeraan lebih lanjut kepada pelaku dengan pencabutan izin, baik itu izin lingkungan maupun izin usaha," ujar Grahat. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait