Selain itu, Permendagri ini dinilai semakin memperumit proses birokrasi karena prosesnya semakin panjang. Misalnya, dalam Pasal 6 diatur jika penelitian lingkup nasional atau lebih dari dua provinsi, izin di tangan Mendagri melalui Unit Layanan Administrasi. Jika lingkup riset provinsi, yang berwenang menerbitkan SKP adalah gubernur melalui Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) provinsi.
Sedangkan, jika lingkup riset kabupaten/kota, izin berada di Bupati/Wali Kota melalui Dinas PTSP. Bahkan, pengajuan permohonan SKP bagi peneliti perseorangan harus berurusan dengan lurah/kepala desa setempat. Belum lagi, jika riset dinilai "menimbulkan dampak negatif", tim penilai (verifikasi) akan memberi rekomendasi penolakan penerbitan SKP yang diajukan pemohon tanpa proses keberatan.
Di Pasal 15, dijelaskan selain menimbulkan dampak negatif, SKP bisa tidak diterbitkan karena peneliti tidak mematuhi norma atau adat istiadat, dan kegiatannya meresahkan masyarakat, disintegrasi bangsa atau keutuhan NKRI. Sementara definisi dampak negatif ini tidak dijelaskan dalam Permendagri ini.
Namun, pada Selasa (6/2) malam kemarin, tiba-tiba Mendagri mencabut Permendagri No. 3 Tahun 2018 ini. Selanjutnya, Kemendagri akan melakukan revisi atas Permendagri itu dengan meminta masukan dari akademisi, lembaga penelitian, DPR.