Pungli: Antara Suap atau Pemerasan?
Utama

Pungli: Antara Suap atau Pemerasan?

Terpeliharanya iklim administrasi tak sehat dapat menghantarkan Indonesia menuju iklim berusaha yang tak sehat.

Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

Pakar hukum perizinan dan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT), Zainal Arifin Mochtar, membantah paradigma yang memposisikan penyuap sebagai korban pemerasan. Menurutnya, selama bertemu maksud pemberi dan penerima suap maka itu bisa langsung dikategorikan sebagai tindak pidana penyuapan.

 

Sekalipun dalam bisnis terdapat kondisi-kondisi yang tak sederhana seperti buruknya pelayanan, sistem perizinan hingga peradilan yang buruk, namun tetap tak lantas bisa dijadikan alasan pembenar dilakukannya penyuapan.

 

“Kalau logikanya karena kondisi buruk kita dibenarkan menyuap, rusak semua. Padahal masih ada banyak jalan lain yang bisa dilakukan seperti mengajukan gugatan ke Pengadilan, melapor ke ombudsman atau menggunakan jalur ajudikasi khusus,” tukas Zainal.

 

Merujuk Pasal 50 UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, kata Zainal, tersedia opsi berupa pebisnis (pengadu) dapat mengajukan gugatan terhadap pemerintah yang ditangani oleh Ombudsman. Sekadar diketahui, bahkan pengadu dapat menuntut ganti rugi kepada penyelenggara pelayanan publik dimaksud.

 

Hukumonline.com

Pakar hukum perizinan dan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT), Zainal Arifin Mochtar.

 

Barulah terkait kesepakatan besaran ganti rugi maupun batas waktu pembayarannya dapat diselesaikan melalui mediasi, konsiliasi dan jalur ajudikasi khusus. Mestinya, paling lambat 5 tahun sejak UU a quo diundangkan maka sistem ajudikasi khusus itu harus sudah diterapkan.

 

“Sayangnya sistem ini masih belum dibuat sampai sekarang,” ujarnya.

 

Sekalipun ajudikasi khusus belum terbentuk, kata Zainal, aduan yang masuk ke Ombudsman tetap dapat ditindak melalui wewenang Ombudsman untuk memaksa atau melalui rekomendasi kepada atasan terlapor. Bahkan, katanya, Ombudsman dapat menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah atau pimpinan penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan prosedur pelayanan publik (vide: Pasal 8 ayat (2) UU 37/2008).

 

Sebagai informasi tambahan, sepanjang 3 tahun terakhir (2016-2018), Ombudsman telah menerima sebanyak 27.345 pengaduan masyarakat atas dugaan maladministrasi. Adapun 3 (tiga) besar praktik tersebut terdiri dari kasus penundaan berlarut (undue delay), 'penyimpangan prosedur' dan 'tidak memberikan pelayanan'. Sementara peringkat tiga besar instansi pelayanan publik yang banyak dikeluhkan adalah Pemerintah Daerah, Kepolisian dan Kementerian Pertanahan (BPN/ATR).

Tags:

Berita Terkait