Putusan MK & Rekriminalisasi Delik Penghinaan Jabatan
Kolom

Putusan MK & Rekriminalisasi Delik Penghinaan Jabatan

​​​​​​​Upaya untuk melakukan suatu rekriminalisasi terhadap delik penghinaan terhadap siapapun, termasuk Presiden dan/atau Wakil Presiden, harus dilakukan dalam koridor bahwa delik tersebut harus diatur dalam kualifikasi delik aduan (klacht delict).

Bacaan 2 Menit

 

4). Pasal 134 KUHP (dan juga Pasal Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP) bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) dan pada suatu saat juga dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi sehingga dianggap MK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28F UUDNRI Tahun 1945;

 

5). Keberadaan Pasal 134 KUHP (dan juga Pasal Pasal 136bis, dan Pasal 137 KUHP) juga akan dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUDNRI Tahun 1945 karena upaya-upaya untuk melakukan klarifikasi tersebut dapat ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.

 

Beberapa pertimbangan hukum (ratio decidendi) MK ini banyak mengutip pendapat ahli yang didengar keterangannya oleh MK dalam persidangan a quo, antara lain Mardjono Reksodiputro (mantan Ketua Tim Penyusun RUU KUHP) dan J.E. Sahetapy.

 

Dalam Putusan a quo, MK juga menitipkan pesan konstitusional yang tegas kepada Pembentuk Undang-Undang bahwa “…oleh karena itu, delik penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut hukum seharusnya diberlakukan Pasal 310-321 KUHP manakala penghinaan (beleediging) ditujukan dalam kualitas pribadinya dan Pasal 207 KUHP dalam hal penghinaan ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai pejabat (als ambtsdrager) sehingga konsekuensi hukumnya adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden harus mengajukan suatu pengaduan (klacht) sebagaimana halnya penghinaan terhadap penguasa atau badan publik (gestelde macht of openbaar lichaam).

 

Hal ini kemudian diingatkan pula oleh Jimly Asshiddiqie (Ketua MK pertama) yang menyatakan bahwa “…kalau yang namanya institusi presiden tidak punya perasaan, maka lembaga presiden itu tidak bisa merasa dihina. maka siapa yang merasa dihina? itu pribadi. ya sama dengan pribadi yang lain, kalau merasa dihina dia mengadu ke polisi. Maka penghinaan kepada siapa saja itu delik aduan” (mahkamahkonstitusi.go.id, 6/8/2015).

 

Berdasarkan Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 ini terlihat jelas bahwa MK sebagai the sole interpreter and the guardian of the constitution berpendapat bahwa prinsip kebebasan berekspresi (freedom of expression) secara proporsional haruslah diutamakan dan memang lebih tinggi nilai hukumnya ketimbang upaya sakralisasi jabatan publik, tidak terkecuali jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

 

Argumentasi bahwa dalam KUHP masih terdapat kriminalisasi dan penalisasi terhadap delik penghinaan terhadap kepala negara sahabat juga tidaklah compatible dan comparable jika dikaitkan dengan urgensi dihidupkannya kembali Pasal Penghinaan Presiden.

Tags:

Berita Terkait