Putusan MK & Rekriminalisasi Delik Penghinaan Jabatan
Kolom

Putusan MK & Rekriminalisasi Delik Penghinaan Jabatan

​​​​​​​Upaya untuk melakukan suatu rekriminalisasi terhadap delik penghinaan terhadap siapapun, termasuk Presiden dan/atau Wakil Presiden, harus dilakukan dalam koridor bahwa delik tersebut harus diatur dalam kualifikasi delik aduan (klacht delict).

Bacaan 2 Menit

 

Upaya rekriminalisasi melalui putusan pengadilan sejatinya juga bukanlah hal yang tabu atau bahkan diharamkan bagi hakim. Sebab melalui judicial activism, hakim (khususnya hakim konstitusi) memang dibebankan suatu kewajiban untuk menjaga, meluruskan, dan menyelaraskan hukum pidana dengan dinamika kehidupan masyarakat.

 

Bahkan Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) beranggapan bahwa memang ada kemungkinan arti satu kata atau pengertian yang dirangkumkan dalam perundang-undangan akan mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu sehingga perbuatan yang dulu tidak tercakup, sekarang justru masuk ke dalam rumusan delik tertentu sehingga metode interpretasi harus dapat dilakukan oleh hakim guna menyelaraskan perkaitan antara masa lalu dengan masa kini (die Verbindungen von Gestern zu Heute herzustellen) [Jan Remmelik: 2003, hlm. 56].

 

Dengan demikian, dalam konteks penghinaan dan hukum pidana, sistem hukum Indonesia, khususnya melalui beberapa Putusan MK yang secara konstitusional bersifat final dan mengikat, telah menegaskan bahwa soal penghinaan (beleediging) terhadap siapapun, tanpa terkecuali, hanya dapat dilakukan berdasarkan suatu pengaduan (klacht) dari korban.

 

Oleh karena itu, upaya untuk melakukan suatu rekriminalisasi terhadap delik penghinaan terhadap siapapun, termasuk Presiden dan/atau Wakil Presiden, harus dilakukan dalam koridor bahwa delik tersebut harus diatur dalam kualifikasi delik aduan (klacht delict) dan bukan sekadar mengurangi besaran ancaman pidana (strafmaat) nya dan/atau mengatur adanya alasan penghapus pidana dalam hal perbuatan tersebut dilakukan jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

 

Dalam hal ini perlu diingat pula pendapat Herbert L. Packer (1968: p. 366 & p.5) bahwa penggunaan hukum pidana sejatinya merupakan ‘pedang bermata dua’ yang pada satu sisi dapat digunakan untuk menjamin rasa keadilan, namun pada sisi lain dapat pula menyebabkan terjadinya kezaliman (The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener) dan hakikat penggunaan hukum pidana pada akhirnya merupakan suatu paradigma tentang upaya melakukan kontrol atas penggunaan kekuasaan dalam kehidupan masyarakat (“…in the end, this is an argument about the uses of power. The criminal sanction is the paradigm case of the controlled use of power within a society. It raises legal issue that are to important to be left to the lawyers, philosophical issues that are too important to be left to the philosophers, and bevahioral science issues that are too important to be left to the behavioral scientist”  (garis bawah dari Penulis).

 

*)Reza Fikri Febriansyah, S.H., M.H. merupakan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum FHUI, Direktur III Kolegium Jurists Institute(Pendapat Pribadi).

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

Tags:

Berita Terkait