Putusan MK & Rekriminalisasi Delik Penghinaan Jabatan
Kolom

Putusan MK & Rekriminalisasi Delik Penghinaan Jabatan

​​​​​​​Upaya untuk melakukan suatu rekriminalisasi terhadap delik penghinaan terhadap siapapun, termasuk Presiden dan/atau Wakil Presiden, harus dilakukan dalam koridor bahwa delik tersebut harus diatur dalam kualifikasi delik aduan (klacht delict).

Bacaan 2 Menit

 

2). Jika soal penghinaan (terhadap pejabat publik) diatur sebagai delik biasa (gewone delict) maka hal tersebut tidak mengindahkan lagi ada atau tidak adanya pertimbangan pribadi (kepentingan privat) korban penghinaan sehingga dapat berpotensi mengabaikan potensi adanya pemberian maaf dari korban penghinaan terhadap pelaku penghinaan;

 

3). Pengaturan delik penghinaan terhadap pejabat publik dalam kualifikasi sebagai delik biasa (gewone delict) dianggap oleh MK sebagai kehendak negara untuk memberikan previlige bagi pejabat/pegawai negara atau kepada individu yang pada saat dihina sedang menjabat sebagai aparat pemerintah sehingga hal ini dinilai oleh MK sebagai suatu upaya menunjukkan posisi dominan negara di hadapan warganegara dan/atau penduduk;

 

4). Saat ini telah terjadi pergeseran paradigmatik ke arah negara hukum yang demokratis dimana persamaan derajat dan kedudukan warganegara di hadapan hukum (equality before the law) menjadai salah satu tujuan yang harus dicapai;

 

5). Pergeseran posisi pegawai negeri atau pejabat negara dari posisi “tuan” pada era kolonialisme menjadi “abdi” atau “pelayan” masyarakat pada era kemerdekaan Indonesia, seharusnya turut menggeser pula keistimewaan posisi/kedudukan hukum masing-masing pihak sehingga pembedaan antara masyarakat umum dengan pegawai negeri atau pejabat negara dalam hal melakukan atau tidak perlu melakukan pengaduan atas penghinaan yang dialaminya, termasuk ancaman pidananya, tidak relevan lagi karena bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mencapai kedudukan manusia yang sederajat dan berkeadilan sebagaimana yang dituangkan dalam UUDNRI Tahun 1945, baik dalam pembukaan maupun pasal-pasalnya.

 

Satu hal yang juga perlu menjadi catatan adalah bahwa baik dalam Putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015 maupun Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008, MK memutus perkara tersebut secara bulat tanpa adanya pendapat berbeda (dissenting opinion).

 

Kepatuhan Berkonstitusi

Dengan telah adanya beberapa Putusan MK terkait soal penghinaan dan hukum pidana maka sejatinya telah terdapat suatu pergeseran politik hukum pidana (criminal law policy) terkait soal penghinaan. Politik hukum pidana (criminal law policy) secara konseptual dimaknai sebagai suatu upaya untuk mewujudukan penguatan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang (BPHN, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, 1980).

 

Dalam konteks kekinian, upaya untuk mewujudukan penguatan peraturan perundang-undangan pidana tidak lagi hanya merupakan domain atau bahkan monopoli dari pembentuk Undang-Undang. Pelaku kekuasaan kehakiman (baik MA, terlebih lagi MK) juga diberikan tugas dan bahkan kewajiban oleh konstitusi untuk menjaga agar hukum (termasuk hukum pidana) harus senantiasa dikuatkan agar tidak bertentangan dengan UUDNRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan.

Tags:

Berita Terkait