Putusan MK & Rekriminalisasi Delik Penghinaan Jabatan
Kolom

Putusan MK & Rekriminalisasi Delik Penghinaan Jabatan

​​​​​​​Upaya untuk melakukan suatu rekriminalisasi terhadap delik penghinaan terhadap siapapun, termasuk Presiden dan/atau Wakil Presiden, harus dilakukan dalam koridor bahwa delik tersebut harus diatur dalam kualifikasi delik aduan (klacht delict).

Bacaan 2 Menit

 

Sebab, menurut Penulis, kepentingan hukum yang ingin dilindungi dari kedua norma tersebut jelas berbeda, dimana delik penghinaan terhadap kepala negara sahabat sejatinya bertujuan untuk melindungi hubungan baik antara Indonesia dengan negara sahabat yang nantinya dapat berpengaruh signifikan bagi stabilitas hubungan bilateral, regional, dan multilateral.

 

Sedangkan kriminalisasi dan penalisasi penghinaan presiden jelas sangat rentan dimaknai sebagai upaya sakralisasi jabatan presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana yang secara historis diakui berasal dari Pasal 111 WvS yang memang bertujuan semata-mata untuk menjaga martabat (lesse majeste) Raja/Ratu Belanda.

 

Alasan lainnya meskipun spekulatif adalah mungkin hanya karena soal penghinaan terhadap kepala negara sahabat hingga kini belum penah ada yang mengajukan constitutional review kepada MK sehingga eksistensi pasal tersebut masih menjadi ius constitutum dalam hukum pidana Indonesia.

 

Tidak Hanya Presiden dan/atau Wakil Presiden

Begitu pula dalam Putusan MK No. 50/PUU-VI/2008, MK secara tegas menyatakan bahwa “…keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai “genus delict” yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan pengadilan”.

 

Bahkan dalam Putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015 (terkait soal penghinaan terhadap pejabat publik, in casu: walikota dan anggota DPRD kota), MK semakin menegaskan suatu kewajiban konstitusional untuk menjunjung tinggi prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum (equality before the law) sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 dengan menyatakan bahwa Pasal 319 KUHP sepanjang frasa “kecuali berdasarkan Pasal 316” inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

 

Dalam Putusan MK No. 31/PUU-XIII/2015, MK mencantumkan setidaknya beberapa pertimbangan hukum (ratio decidendi) yang signifikan, antara lain:

1). Bahwa dalam konteks penghinaan, tidak ada batas mutlak dan tegas antara wilayah hukum publik (pidana) dengan wilayah hukum privat (perdata);

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait