Ramai-ramai Menuntut Transparansi Naskah UU Cipta Kerja
Utama

Ramai-ramai Menuntut Transparansi Naskah UU Cipta Kerja

Berbagai disinformasi mengenai substansi dari UU Cipta Kerja dan tuduhan hoaks sebagaimana disampaikan Presiden merupakan dampak dari buruknya keterbukaan informasi penyusunan UU Cipta Kerja.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit

Publikasi UU yang sudah disahkan juga diatur pada Pasal 7 Peraturan DPR No. 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang menyatakan bahwa DPR RI bertugas menyebarluaskan UU yang telah disahkan. Oleh karena itu, FOINI menuntut tanggung jawab Presiden dan Pimpinan DPR untuk: (1) Mengumumkan segera UU Cipta Kerja secara luas kepada publik sebagai kewajiban konstitusi dan undang-undang, termasuk mencegah dampak kerugian yang lebih lanjut bagi masyarakat; (2) Membuka ke publik semua informasi yang terkait dengan penyusunan UU Cipta Kerja, antara lain: laporan singkat, catatan rapat, daftar inventarisasi masalah, pandangan fraksi, dan risalah rapat penyusunan RUU Cipta Kerja, maksimal 12 Oktober 2020 mengingat keterlambatan informasi tersebut telah memicu terganggunya ketertiban umum; dan (3) Meminta aparat untuk segera menghentikan tindakan-tindakan represif terhadap masyarakat yang dituduh telah menyampaikan informasi menyesatkan.

Tuntutan keterbukaan informasi pada naskah RUU Cipta Kerja juga disampaikan Ricka Kartika Barus, perwakilan Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia. Dia menyayangkan sampai saat ini belum ada isi Draft RUU Cipta Kerja yang dipublikasikan secara resmi oleh Pemerintah dan/atau Baleg DPR RI sehingga terjadi disinformasi di masyarakat bahkan timbul reaksi dari masyarakat dalam bentuk unjuk rasa.  Adapun yang sempat beredar di media adalah Draft RUU Cipta Kerja yang berjumlah 186 pasal dengan jumlah halaman sebanyak 905.

Ricka menilai disinformasi seharusnya tidak terjadi apabila Pembentuk Undang-Undang melakukan keterbukaan informasi kepada publik.  Menurutnya, Rancangan Undang-undang pun termasuk informasi publik. Dalam UU Keterbukaan Informasi Publik (UU No 14/2008) Pasal 1 angka 2.

“Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan public,” jelas Ricka, Senin (12/10).

Dia menyarankan bagi pemerintah khususnya Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) badan publik agar memenuhi permintaan informasi publik secara terbuka dalam Daftar Informasi yang tidak rahasia sehingga informasi yang perlu diketahui ini tidak perlu disembunyikan dan dicegah kepada masyarakat.

Kemudian badan publik yang dimaksud Pasal 1 angka 3, Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Ricka menyampaikan pihaknya akan melakukan permohonan Informasi Publik secara resmi kepada Pemerintah dan Baleg DPR RI. Apabila tidak ditanggapi maka kami akan mengajukan Permohonan ke Komisi Informasi Publik karena sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik apabila tidak ditanggapi maka dapat dikategorikan sebagai sengketa informasi publik yang dapat diselesaikan oleh Komisi Informasi Publik. Pasal 23 UU Keterbukaan Informasi Publik,  Komisi Informasi adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya menetapkan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi.

Tags:

Berita Terkait