Refleksi 30 Tahun ICEL untuk Hukum Perubahan Iklim di Indonesia
Terbaru

Refleksi 30 Tahun ICEL untuk Hukum Perubahan Iklim di Indonesia

HUT ICEL menjadi momen refleksi perjalanan organisasi independen nonpemerintah ini dalam mendorong terbentuknya fondasi dan perkembangan hukum lingkungan di Indonesia, sekaligus mewarnai perwujudan demokrasi, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.

Tim Publikasi Hukumonline
Bacaan 5 Menit
Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G. Sembiring. Foto: istimewa.
Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G. Sembiring. Foto: istimewa.

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) telah melangsungkan peringatan hari ulang tahun yang ke-30 pada Kamis (24/8). Mengambil tema ‘keadilan iklim’ pada tahun yang baru, rangkaian perayaan HUT ICEL diawali dengan workshop ‘Hukum Perubahan Iklim yang Berkeadilan’, dialog ‘Mewujudkan Hukum Perubahan Iklim yang Berkeadilan: Pembelajaran dari Gerakan Hukum Lingkungan Indonesia Masa ke Masa’, pameran seni bertajuk ’30 Years ICEL: Celebrating Environmental Law Movement’; peluncuran buku Menyelamatkan Bumi Melalui Hukum; hingga malam penganugerahan bagi delapan pihak—organisasi maupun individu—yang dianggap menjadi pembaru bagi hukum lingkungan Indonesia selama 30 tahun terakhir.

 

Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G. Sembiring mengungkapkan, dibanding tahun-tahun sebelumnya, perayaan HUT kali ini jadi istimewa, sebab hampir seluruh kegiatan yang dilaksanakan ditujukan untuk eksternal. HUT ICEL sendiri jadi momen napak tilas perjalanan organisasi independen nonpemerintah ini dalam mendorong terbentuknya fondasi dan perkembangan hukum lingkungan di Indonesia, sekaligus mewarnai perwujudan demokrasi, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.  

 

Pada kegiatan dialog, misalnya. ICEL mengundang enam direktur eksekutif ICEL dari 1993 hingga 2023, untuk bersama-sama mendiskusikan bagaimana peran dan strategi hukum dalam mewujudkan keadilan iklim. Dialog ini juga sebagai refleksi perjalanan ICEL, yang mengerucut pada tiga simpulan.

 

Pertama, kebutuhan akan satu kerangka hukum untuk mengatur perubahan iklim di Indonesia.

 

"Saat ini, masih sedikit undang-undang yang mengatur aspek perubahan iklim, kecuali Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Mengingat perubahan iklim sudah menjadi  isu sentral dan mempengaruhi berbagai sektor lainnya, maka kebutuhan adanya undang-undang khusus menjadi mendesak,” kata Raynaldo.

 

Menurut Raynaldo, kendati prinsip-prinsip keadilan sudah terakomodasi dengan jelas di UU Lingkungan, perlu diatur lebih spesifik melalui prinsip-prinsip keadilan iklim. Prinsip-prinsip keadilan iklim yang akan menjadi acuan penanganan masalah perubahan iklim.

 

“Yang kami pikirkan dan cari skemanya, kami ingin UU yang mengatur perubahan iklim mampu menghimpun berbagai kebijakan dan inisiatif dengan target yang terukur. Jadi, undang-undang ini akan menjadi acuan utama bagi seluruh penanganan masalah perubahan iklim, sehingga bisa merangkul dan menghimpun kontribusi seluruh sektor,” Raynaldo menambahkan.

 

Kedua, urgensi pada kondisi pemungkin (enabling conditions). Raynaldo menjelaskan, mulanya gerakan hukum lingkungan di Indonesia berkembang dari masalah pencemaran (brown issue), kemudian green issue (illegal loging, alih fungsi lahan, atau pembakaran hutan), sampai kepada blue issue (marine). Selama 30 tahun, ICEL bekerja untuk ketiga isu tersebut. Namun, ICEL menyadari penyelesaian masalah lingkungan membutuhkan terwujudnya kondisi pemungkin.

 

“Kondisi pemungkin dalam hal ini meliputi demokrasi, rule of law, tata kelola pemerintahan, dan hak asasi manusia. Keadilan lingkungan (iklim), dapat terwujud jika keempatnya terpenuhi dan terjamin serta punya porsi seimbang,” ujar Raynaldo.

 

Ketiga, posisi penting masyarakat sipil sebagai pendorong gerakan hukum lingkungan. Bahkan, dapat dikatakan gerakan ini bukan hanya dalam hal praktik, melainkan juga untuk menghasilkan teori hukum baru. Perkembangan hukum yang hadir dari gerakan masyarakat sipil sangat banyak, mulai dari legal standing NGO, citizen lawsuit, dll. Menurut keenam direktur ICEL, gerakan masyarakat sipil perlu terus dirawat dan diperkuat untuk menghasilkan perkembangan hukum baru bagi perlindungan hak masyarakat dan lingkungan.

 

Kurikulum Hukum Perubahan Iklim

Selain regulasi, upaya lain yang dilakukan ICEL adalah mewujudkan pendidikan formal untuk hukum perubahan iklim, mengingat masih ada keterbatasan dalam hal akses, padahal kebutuhannya, sangat tinggi.  Selama dua bulan terakhir, ICEL telah mendorong implementasi mata kuliah Hukum Perubahan Iklim di fakultas hukum universitas-universitas Indonesia. Bekerja sama dengan praktisi, akademisi, dan ekonom, ICEL menyusun Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dan meluncurkan bahan ajar. Untuk menyosialisasikan materi ajar tersebut, ICEL mengadakan workshop bagi para dosen pada 20-23 Agustus 2023 di berbagai universitas seluruh Indonesia, dari Riau hingga Merauke.

 

Sebagai tindak lanjut workshop, ICEL dan sembilan fakultas hukum terkait akhirnya sepakat untuk membuat nota kesepahaman dalam mengembangkan mata kuliah Hukum Perubahan Iklim, menggarap penelitian bersama, bahkan menyelenggarakan workshop lanjutan dengan materi yang lebih spesifik. Rencananya, program ini akan didukung dengan berbagai agenda untuk memperkuat komunitas berbasis keahlian di tingkat daerah dan nasional. Adapun fakultas hukum yang menjalin nota kesepahaman dengan ICEL meliputi Fakultas Hukum UI, Fakultas Hukum UGM, Fakultas Hukum Unpad, Fakultas Hukum Unair, Fakultas Hukum Unpar, Fakultas Hukum Unri, Fakultas Hukum Universitas Widyagama Malang, STHI Jentera dan Fakultas Hukum Unhas. Khusus Unhas, nota kesepahaman juga dijalin dengan pihak rektorat.

 

“Hukum perubahan iklim bukan hanya untuk mereka yang bergerak di isu lingkungan, tetapi juga ekonom (terkait dengan instrumen ekonomi dan turunannya), peneliti socio-legal, praktisi hukum (terkait dengan hukum acara pidana, hukum acara perdata, tata usaha negara, administrasi, dsb), sampai kepada diplomat. Di tengah tingginya dinamika hukum perubahan iklim di tingkat nasional dan global, termasuk tren litigasi, kebijakan dan berbagai kerja sama dengan entitas Indonesia (pemerintah, LSM, lembaga penelitian, dsb.), ada kekosongan pengetahuan hukum yang para lawyer harus pahami,” kata Raynaldo.

 

Hukum Perubahan Iklim lantas tidak hanya mengajarkan teknis-teknis hukum, seperti instrumen lingkungan dalam perubahan iklim, dinamika perkembangan hukum internasional, nilai ekonomi, maupun litigasi perjanjian perubahan iklim; tetapi juga situasi politik hukum Indonesia dan global saat ini.

 

ICEL Membangun Soliditas

Di mata Raynaldo, ICEL merupakan satu organisasi yang unik, karena terdiri atas individu dengan kekhususan keahlian hukum yang beragam, tetapi saling mendukung dan ambil bagian. Soliditas ini, harus terus dirawat dan dijaga, misalnya dengan cara memperkuat kapasitas dan jaringan diaspora.

 

Ke depannya, Raynaldo berharap, ICEL dapat terus mengawal perkembangan hukum perubahan iklim. Tugas ini cukup kompleks, sebab ICEL juga harus mampu mengintegrasikan keberadaan data hukum dan nonhukum. Untuk menunjang data hukum, pada Januari 2023 ICEL telah meluncurkan Indonesia Landmark Environmental Decision (I-LEAD)—portal khusus berisi putusan-putusan pengadilan tentang penegakan hukum lingkungan hidup. Kehadiran I-LEAD dimaksudkan menjadi basis data, dasar bukti ilmiah di pengadilan, sekaligus wadah pembelajaran bagi seluruh kalangan dalam mengawal pembaruan hukum lingkungan di Indonesia.

 

“Indonesia menjadi salah satu negara yang menarik bagi perkembangan hukum lingkungan secara global, tetapi referensi tentang kita, masih belum banyak. Data-data hukum dari putusan pengadilan ini dapat menjadi satu perbincangan hukum, menghasilkan produk-produk tulisan, dan dapat digunakan oleh para penegak hukum dalam argumentasi maupun pertimbangan hakim,” Raynaldo menerangkan.

 

Pada akhirnya, memasuki tahun politik, ICEL menyadari akan ada banyak ide yang ditampung dan dijalankan oleh calon-calon pemimpin negeri. Gagasan untuk terwujudnya hukum perubahan iklim yang berkeadilan inilah yang ingin ICEL dorong.

 

“Hukum perubahan iklim bukan hanya harus membicarakan masalah keadilan iklim, masyarakat marginal, mereka yang kurang beruntung, dan kondisi alam yang mungkin kritis dan perlu dipulihkan. Selain itu, hukum perubahan iklim juga harus membicarakan kondisi pemungkin, yaitu demokrasi, rule of law, tata kelola pemerintahan, dan hak asasi manusia. Semoga ICEL dapat menjadi lembaga advokasi yang dapat memberikan kontribusi lebih besar,” pungkas Raynaldo.

 

Artikel ini merupakan kerja sama antara Hukumonline dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL).  

Tags:

Berita Terkait