Refleksi Pengelolaan Izin Lingkungan
Kolom

Refleksi Pengelolaan Izin Lingkungan

Perizinan lingkungan dan kajian dokumen AMDAL harus didesain untuk melindungi lingkungan namun sekaligus tidak mengorbankan kepentingan ekonomi.

Ada tiga persoalan baru yang timbul terkait dengan dua Keputusan Menteri LHK beserta surat edaran tersebut yakni nampak bahwa Kementerian LHK menggunakan celah hukum yang ada pada Pasal 59 ayat (2) dan pada Pasal 79 ayat (4) PP No. 22/2021 bahwa Kementerian LHK dapat melakukan delegasi pada instansi di provinsi maupun kabupaten/kota. Persoalannya adalah pada SK 1295/MENLHK tidak memberi kewenangan yang sama pada setiap provinsi maupun kabupaten/kota. Misalnya Provinsi Kalimantan Tengah yang sarat dengan sektor usaha kehutanan, hasil alam, investasi dengan risiko tinggi dan proyek strategis dengan jumlah permohonan perizinan lingkungan yang besar tidak mendapatkan delegasi.

Kondisi tersebut akan memunculkan pertanyaan apa yang menjadi latar belakang pendelegasian wewenang dalam Pasal 59 ayat (2) dan pada Pasal 79 ayat (4) PP No. 22/2021 pada provinsi serta kabupaten/kota yang mendapatkan delegasi pada SK 1295/MENLHK. Ini artinya akan menimbulkan konsekuensi pada adanya perbedaan mekanisme pengurusan perizinan lingkungan pada masing masing investor (pengurusan tergantung pada apakah lokasi investasi termasuk dalam SK 1295/MENLHK).

Persoalan yang kedua adalah berkaitan dengan SK 1296/MENLHK terkait dengan satuan tugas, dalam hal ini risiko yang dapat terjadi adalah kemungkinan terjadinya business interruption mengingat dengan pembentukan dan tugas tim transisi maka akan berdampak pada kewenangan pejabat yang saat ini terlibat dalam penerbitan perizinan lingkungan. Risiko yang harus dimitigasi adalah agar tidak terhambatnya perizinan lingkungan yang saat ini sedang dimohonkan oleh investor.

Persoalan kedua tersebut perlu dilakukan mitigasi mengingat berkaca dari pengalaman sistem online single submission (OSS) yang menginterupsi perizinan yang sedang dimohonkan sehingga investor pada tahun 2018 dan 2019 harus mengulang kembali permohonan perizinan yang diajukan, namun pada faktanya perizinan berbasis online single submission (OSS) masih penuh masalah setelah empat tahun diluncurkan oleh pemerintah. Tentu saja jika dampak dari SK 1296/MENLHK adalah mengulangi peristiwa yang terjadi pada migrasi perizinan manual menuju berbasis online single submission (OSS) maka yang paling dirugikan dari kondisi ini adalah investor.

Persoalan ketiga, terkait dengan Surat Edaran Menteri LHK Nomor SE.7/MENLHK/SETJEN/REN.0/12/2022 terkait dengan aspek tata laksana. Jika pada tataran tata laksana di lapangan tidak mengurangi jumlah kegiatan kajian dan ekspose serta banyaknya tim penilai yang terlibat maka investor akan tetap berhadapan dengan labirin panjang pada pengurusan perizinan lingkungan. Idealnya penerbitan perizinan lingkungan harus mengacu pada doktrin green growth economy, sebagaimana diuraikan Fabozzi (2022), yakni “the basic idea of green growth is that technology will make sustainable growth possible without affecting economies”.

Artinya dalam hal ini bahwa perizinan lingkungan dan kajian dokumen AMDAL harus didesain untuk melindungi lingkungan namun sekaligus tidak mengorbankan kepentingan ekonomi, sehingga dalam hal ini pengurangan tahapan harus menjadi perhatian sekaligus perlu dilakukan peningkatan kualitas pada setiap tahapannya sehingga tidak diperlukan tahapan maupun ekspos serta kajian berulang.

*)Dr. Rio Christiawan,S.H.,M.Hum.,M.Kn., adalah Associate Professor bidang Hukum, Faculty Member International Business Law Universitas Prasetiya Mulya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Prasetiya Mulya dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait