Rekontruksi Konsep Rechtsverwerking di Luar Sengketa Tanah
Kolom

Rekontruksi Konsep Rechtsverwerking di Luar Sengketa Tanah

Dalam konteks due process of law, penerapan asas rechtsverweking dalam tuntutan perdata maupun tuntutan administrasi sangat penting.

Bacaan 5 Menit

Sedangkan sebaliknya, dalam Putusan Pengadilan Negeri Pangkalan Bun No.52/Pdt.G/2015/PN.Pbu, perkara antara PT GC (in casu Penggugat) dengan PT SSJ (in casu Tergugat) dan UPB Company (in casu Turut Tergugat), terkait wanprestasi perjanjian jual beli Tandan Buah Segar (TBS), penggunaan konsep rechtsverweking tidak bisa dijadikan alasan untuk melepaskan atau mengingkari kewajiban pembeli untuk membayar kepada penjual terhadap barang yang sudah dipakai dan dinikmatinya.

Sebagaimana dijelaskan Prof. Nindyo Pramono dalam keterangan ahlinya, kalau pembeli sudah menerima barang itu, sudah dipakai, sudah dinikmati, kemudian kewajiban pembeli membayar dan mungkin apabila pembeli sudah melakukan pembayaran tetapi tidak sampai kepada penjual dikarenakan sesuatu yang mungkin digelapkan oleh pesuruhnya dan lain sebagainya, maka dalam teori rechtsverweking ia tidak bisa menggunakan hak untuk mengingkari dalam kewajiban harus membayar selaku pembeli karena dia sudah menikmati barang tersebut. Artinya pembeli tidak bisa melepaskan haknya untuk menyangkal kewajiban pembayaran, sekalipun pembeli telah melakukan pembayaran, tetapi pembayaran tidak sampai atau diterima kepada yang berhak.  

RekontruksiKonsep Rechtsverweking dalam Hukum Acara

Dalam tata hukum perdata (burgerlijke rechtsorde), penggunaan asas rechtsverweking dapat diterapkan dalam hal kehadiran para pihak dalam persidangan. Kehadiran para pihak dalam proses persidangan dapat dijadikan paramater yang sahih dalam hal yang bersangkutan dia punya hak untuk melakukan atau menuntut atau mempertahankan haknya, tetapi dari sikap dan perilakunya dengan tidak hadir di muka persidangan itu berarti dia tidak melaksanakan haknya tersebut.

Meskipun akibat hukum dari tindakan rechtsverweking secara ekplisit dan ekpresis verbis tidak disebutkan dalam HIR maupun KUHPerdata, tetapi apabila dikaitkan dengan teorinya Paul Schotten tentang sistem hukum terbuka yang menyatakan bahwa suatu perbuatan manusia itu tidak mungkin diatur dalam satu undang-undang, melainkan juga diatur dalam berbagai macam undang-undang, sehingga undang-undang tersebut saling berkaitan.

Maka, akibat hukum dari tindakah rechtsverweking dengan tidak hadir dalam persidangan, padahal telah dipanggil secara resmi (officially) dan patut (properly) sebanyak tiga kali, sesuai dengan ketentuan Pasal 124 HIR, apabila penggugat tidak hadir, maka gugatannya gugur. Sedangkan jika pihak tergugat tidak hadir, sesuai dengan ketentuan Pasal 125 ayat (1) HIR, maka perkara berjalan dan diperiksa tanpa kehadiran tergugat (in absentia) dan diputus secara verstek.

Dalam beberapa kasus, di mana Tergugatnya tidak pernah hadir sama sekali dan diputus verstek, tetapi Putusannya begitu mencengangkan karena antara fakta dengan amar putusannya tidak balanced. Seperti pada Putusan PN Rengat No.29/Pdt.G/2020/Pn.Rgt, di mana Tergugatnya dari awal sampai akhir sidang tidak pernah hadir, tetapi hakim malah memutus perkara tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) dengan alasan legal standing Penggugat atau legitma persona in standi judicio. Di sini hakim telah melakukan ultra petita karena hakim dalam perkara perdata bersifat pasif dan seandainya pun ada persoalan dengan legal standing penggugat, maka yang harus mempersoalkannya adalah pihak yang berperkara pada saat memberikan eksepsi diskualifikasi in person, bukan hakim.

Lain hal dalam Putusan Pengadilan Negeri Rengat No.09/Pdt.G/2021/PN.Rgt, di mana tergugatnya telah dipanggil secara sah dan patut sebanyak tiga kali, pada sidang pertama, kedua, ketiga dan keempat tidak pernah hadir tanpa alasan yang sah, kemudian pada saat sidang kelima pembuktian, tergugat hadir dan hakim malah memberikan kesempatan dan mempersilahkan tergugat untuk mengajukan bukti pada sidang berikutnya. Hal ini tentunya menyimpangi asas rechtsverweking, sebab harusnya tergugat tidak punya lagi hak untuk menjawab, membantah, maupun mengajukan bukti karena secara hukum sudah dianggap melepaskan haknya sejak saat tidak hadir pada persidangan awal padahal sudah dipanggil secara resmi dan patut. 

Itu sebabnya, dalam konteks due process of law, penerapan asas rechtsverweking dalam tuntutan perdata (burgelijke vordering) maupun tuntutan administrasi sangatpenting dari segi tujuan hukum, karena bertujuan untuk melindungi kepentingan salah satu pihak dari gugatan yang diajukan dengan itikad jahat (vexatious litigation), memberikan kepastian hukum dan mencegah berlarut-larutnya suatu perkara yang dapat merugikan salah satu pihak, dan mendorong konsistensi asas peradilan mudah, cepat, dan biaya ringan.

*)Agung Hermansyah, Advokat dan Peneliti Hukum di Pekanbaru.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait