Respons Pemerintah Terkait Keppres Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat
Terbaru

Respons Pemerintah Terkait Keppres Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat

Pemerintah mengklaim mekanisme non-yudisial pelanggaran HAM beray memberi kesempatan bagi korban didengar, diberdayakan, dimuliakan dan dipulihkan martabatnya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Keputusan Presiden (Keppres) Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu telah diteken Presiden Joko Widodo. Beleid tersebut diklaim sebagai terobosan pemerintah atas tertundanya proses pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), serta proses penyelidikan dan penyidikan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung yang tidak ada titik temu. Tapi klaim tersebut dipandang menyamarkan jalan keadilan bagi korban.

“Klaim ini adalah cara negara memanipulasi jalan keadilan bagi korban yang sama sekali tidak akan melimpahkan keadilan dan menyajikan pembelajaran berharga bagi bangsa atas kejahatan-kejahatan masa lalu,” ujar Ketua Setara Institute, Hendardi melalui keterangannya, Senin (22/8/2022).

Hendardi beralasan argumentasi KKR yang belum dibahas dapat dipatahkan. Seperti mengapa baru terpikir menyelesaikan pelanggaran HAM di masa sisa jabatan Presiden Joko Widodo? Padahal sedari awal Presiden Jokowi menjabat, bahkan sejak era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, maupun melalui Wantimpres dan Menkopolhukam, desakan, aspirasi, diskusi dan langkah-langkah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sudah pernah dibahas.

Dia menilai berulang kali elemen korban, termasuk kelompok masyarakat sipil dimintai pendapat. Tapi nyatanya, harapan itu diabaikan dengan membentuk Keppres Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Menurutnya, beleid tersebut tak ubahnya menyerupai panitia santunan bagi korban. Kemudian dianggap telah menyelesaikan tuntutan keadilan penanganan pelanggaran HAM masa lalu.

Bagi Setara, kata Hendardi, Presiden Jokowi tak menangkap pesan putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-V/2007, tertanggal 21 Februari 2008, yang pada intinya penentuan kualifikasi pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000 bukanlah domain DPR. Tapi kewenangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.

Menurutnya, tugas DPR selanjutnya hanya merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM kepada Presiden. Dengan demikian, jalan penyelesaian yudisial sebenarnya tidak ada kebuntuan, sepanjang Presiden Jokowi dapat mendisiplinkan Jaksa Agung untuk melanjutkan tahap penyidikan atas hasil kerja Komnas HAM. “Faktanya, Jaksa Agung selalu berlindung, menunggu adanya keputusan DPR,” katanya.

Peneliti Hukum dan Konstitusi Setara Institute Sayyidatul Insiyah menambahkan pembentukan UU KKR, semestinya dapat diakselerasi bila Presiden Jokowi mampu mendisiplinkan jajaran pemerintahannya plus partai-partai pendukungnya. Dia berpendapat merevisi UU Minerba, UU KPK, bahkan membahas UU Cipta Kerja, Jokowi dan jajarannya dapat memperoses secara cepat. “Mengapa untuk KKR Jokowi terus menunda?”

Tags:

Berita Terkait