Respons Pemerintah Terkait Keppres Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat
Terbaru

Respons Pemerintah Terkait Keppres Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat

Pemerintah mengklaim mekanisme non-yudisial pelanggaran HAM beray memberi kesempatan bagi korban didengar, diberdayakan, dimuliakan dan dipulihkan martabatnya.

Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

Sayyidatul berpendapat klaim soal jalan yudisial masih dapat dijalankan secara paralel hanyalah   kosmetik politik untuk melemahkan penentangan atas ide Keppres tersebut. Menurutnya, judul Keppres penyelesaian non-yudisial menunjuukan peristiwa pelanggaran HAM berat hanya dianggap telah rampung. Semestinya pilihan yudisial atau non yudisial menjadi produk akhir setelah sebuah komisi yang mengungkap kebenaran pelanggaran HAM berat selesai bekerja.

Sebaliknya, kata Sayyidatul, pemerintah menempuh menetapkan jalur non yudisial sejak awal. Dengan demikian menegasikan jalan keadilan yang lebih obyektif yakni jalur yudisial. Dia menilai dari seluruh jejak advokasi penyelesaian pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, tampak Presiden Jokowi yang paling lemah secara kepemimpinan. Dengan begitu, ide dan rencana pemutihan pelanggaran HAM dapat diakomodasi dan menjadi kebijakan Presiden.

Terpisah, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menjelaskan Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Masa Lalu merupakan janji dan komitmen memberi prioritas pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat. Menurutnya, pembentukan beleid tersebut telah melalui proses pemikiran yang matang dan pembahasan yang panjang dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, tidak terkecuali korban pelanggaran HAM.

“Tim penyelesaian non-yudisial ini beranggotakan tokoh-tokoh yang berintegritas, kompeten dan memiliki pemahaman HAM yang memadai, dan merepresentasikan kelompok yang bisa menjamin tercapainya tujuan dikeluarkannya Keppres. Mereka juga akan melakukan pengungkapan kebenaran, rekomendasi reparasi dan mengupayakan ketidakberulangan, sejalan dengan mandat komisi kebenaran,” ujarnya.

Menurutnya, bila mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan retibutif, maka mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban. Selain itu, jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitutif) untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh.

Jaleswari pun menampik argumen yang menuding Keppres tersebuut tak memiliki landasan hukum yang jelas. Menurutnya, kebijakan penyelesaian non-yudisial dimungkinkan dikeluarkan oleh Presiden sebagai sebuah executive measure. Sebab, urgensi dan kemendesakan pemenuhan hak korban dan keluarga korban.

Hingga kini, terdapat 13 peristiwa pelanggaran HAM Berat yang belum terselesaikan dengan 9 persitiwa diantaranya merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi, sebelum diundangkannya UU No.26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Menurutnya dari berbagai peristiwa dengan waktu dan tempatnya sedemikian luas, serta konstruksi dan tipologinya yang bermacam-macam, dipastikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan.

“Mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban didengar, diberdayakan, dimuliakan, dan dipulihkan martabatnya,” dalih Jaleswari.

Tags:

Berita Terkait