Respons Putusan Pemberhentian DKPP, Evi Novida Siapkan Gugatan
Berita

Respons Putusan Pemberhentian DKPP, Evi Novida Siapkan Gugatan

Pada perkara ini tidak ada tindakan KPU mengubah perolehan suara hasil Pemilu.

Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Evi Novida Ginting. Foto: DAN
Evi Novida Ginting. Foto: DAN

Komisioner Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Evi Novida Ginting Manik, mengaku akan menyiapkan gugatan ke Pengadilan atas adanya Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 317 -PKE- DPP/X/2019 yang salah satu amar putusannya memberhentikan Evi Novida Ginting Manik secara tetap dari keanggotaan Komisi Pemilihan Umum.

 

“Saya keberatan dengan Putusan DKPP RI Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 tanggal 18 Maret 2020,” ujar Evi dalam jumpa pers yang disiarkan secara online, Kamis (19/3), di Gedung KPU. 

 

Karena itu Evi mengaku akan merespon putusan DKPP tersebut dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Menurut Evi, tujuan dari gugatan ini nantinya adalah untuk membatalkan putusan DKPP yang dibacakan pada tanggal 18 Maret 2020 tersebut. Evi berjanji akan menyampaikan sejumlah alasan-alasan yang akan menguatkan gugatannya tersebut.

 

“Dalam gugatan tersebut, saya akan menyampaikan alsan-alasan lainnya agar Pengadilan dan Publik dapat menerima adanya Kecacatan Hukum dalam Putusan DKPP ini,” ujar Evi.

 

Dalam kesempatan tersebut, Evi juga menjelaskan alasan dirinya keberatan terhadap putusan DKPP. Mengacu pada fakta adanya pencabutan aduan oleh Pengadu Hendri Makalausc pada sidang perdana (13/11/2019) lalu, Evi menilai tidak lagi terdapat pihak yang dirugikan dalam kasus yang tengah berjalan. 

 

”Pencabutan disampaikan Pengadu kepada Majelis DKPP secara langsung dalam sidang dengan menyampaikan Surat Pencabutan Laporan Dugaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu,” terang Evi.

 

Menurut Evi, pencabutan pengaduan tersebut sebagai tanda bahwa Hendri Makalausc sebagai pengadu telah menerima keputusan KPU Kalimantan Barat Nomor 47/PL,01.9-Kpt/Prop/IX/2019, yang dibuat atas dasar Berita Acara Rapat Pleno Tertutup tanggal 11 September 2019, yang didasarkan Surat KPU RI tanggal 10 September 2019 Nomor 1937/PY.01- SD/06/KPU/IX/2019.

 

Oleh karena itu, Evi berpandangan bahwa DKPP hanya memiliki kewenangan secara pasif untuk mengadili pelanggaran kode etik yang diajukan oleh Pengadu. Artinya DKPP tidak bisa melakukan pemeriksaan etik secara aktif bila tidak ada pihak yang dirugikan dan mengajukan pengaduan pelanggaran etik. 

 

“Pencabutan Pengaduan karenanya mengakibatkan DKPP tidak mempunyai dasar untuk menggelar peradilan etik lagi dalam perkara ini,” imbuhnya.

 

(Baca: Diwarnai Pencabutan Aduan, Anggota KPU Ini Diberhentikan)

 

Menurut Evi, pelaksanaan peradilan etik oleh DKPP tanpa adanya pihak yang dirugikan seperti dalam perkara ini, sudah melampaui kewenangan yang diberikan oleh UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kepada DKPP sebagai lembaga peradilan etik yang pasif. 

 

“Putusan DKPP kepada saya dan KPU RI. KPU Kalbar terlalu berlebihan karena sudah tidak ada lagi pihak yang dirugikan dan pokok permasalahannya hanya mengenai perbedaan putusan,” tegas Evi.

 

Dalam penjelasannya, Evi mengungkapkan terkait kasus ini KPU RI hanya menjamin terlaksananya ketentuan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. 

 

Menurut Evi, berdasarkan norma konstitusi tersebut Putusan MK Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2009 memiliki kekuatan hukum mengikat bagi KPU RI. Untuk itu, baik Evi maupun KPU RI, beserta lembaga penyelenggara Pemilu yang lain tidak berwenang menafsirkan Putusan MK tersebut dan hanya berwenang melaksanakan Putusan MK apa adanya.

 

Namun dalam perjalanannya, Pengadu Hendri Makalausc merasa tidak puas dengan putusan MK sehingga mengajukan sengketa ke Bawaslu atas penetapan kursi dan calon terpilih yang ditetapkan oleh KPU Kalbar. Kemudian putusan Bawaslu memenangkan gugatan Hendri makaluasc. 

 

”Kemudian mengoreksi  perolehan suara calon nomor urut 7 Sehingga posisi berubah tadinya Hendri tidak terpilih atas putusan Bawaslu Hendri menjadi calon terpilih dan no 7 dikoreksi sehingga tidak menjadi calon terpilih,” terang Evi.

 

Atas situasi ini, Evi menjelaskan dirinya bersama KPU RI KPU RI memerintahkan kepada KPU Kalbar untuk menjalankan putusan MK. Sehingga KPU Kalbar menetapkan kursi dan calon terpilih berdasarkan putusan MK.

 

”Inilah yang kita sampaikan kepada KPU Kalbar sehingga KPU RI meminta kepada KPU Kalbar untuk melaksanakan kembali putusan MK jadi tidak ada satupun perintah KPU RI untuk mengurangi dan menambahkan perolehan suara saudara Hendri (Makalausc) maupun saudara Cok Hendri Ramapon (nomor urut 7). Yang diperintahkan KPU RI adalah melaksanakan putusan MK sebagaimana diatur dalam UUD 1945,” tegas Evi.

 

Menurut Evi, praktik seperti ini konsisten dilaksanakan KPU RI terhadap semua daerah yang terdapat putusan MK berupa penetapan suara dalam sengekta hasil tanpa ada perbedaan. Karena itu KPU Kalbar menetapkan calon anggota DPRD Kalbar terpilih berdasarkan putusan MK.

 

“Konsistensi ini yang kita tunjukkan ke KPU Kalbar yang kemudian ini dilaksanakan oleh KPU Kalbar sehingga mereka melakukan koreksi terhadap koreksi (berdasarkan putusan Bawalu)yang sudah mereka lakukan sebelumnya,” terang Evi.

 

Selanjutnya Evi juga mengungkapkan, dalam sidang pleno penetapan pengambilan keputusan kasus ini, DKPP tidak melaksanakan Pasal 36 ayat (2) Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2019 yang mewajibkan pleno pengambilan Keputusan dihadiri paling sedikit 5 (lima) orang anggota DKPP. Putusan DKPP ini hanya diambil oleh 4 (empat) anggota Majelis DKPP. 

 

“Putuaan ini cacat hukum, yang berakibat batal demi hukum dan mestinya tidak dapat dilaksanakan,” tegas Evi.

 

Sementara itu, anggota KPU RI Pramono Ubaid di tempat yang sama ikut menegaskan bahwa Evi sama sekali tidak berinisiatif/memerintahkan/mengintervensi/mendiamkan terjadinya perubahan perolehan suara. Menurut Pramono, terhadap putusan MK dan Bawaslu yang berbeda, KPU berpandangan bahwa putusan MK yang wajib dilaksanakan. 

 

“Pada perkara ini tidak ada tindakan KPU mengubah perolehan suara hasil Pemilu,” tegas Pramono.

 

Namun Pramono menyebutkan bahwa pihaknya menghormati putusan DKPP yang memberhentikan dengan tetap Evi dan menjatuhkan peringatan keras terakhir kepada Ketua dan anggota KPU RI lainnya. Pramono berjanji pihaknya akan mempelajari dan melakukan kajian untuk melihat berbagai kemungkinan kebijakan yang dapat diambil KPU terkait putusan DKPP ini.

 

Tags:

Berita Terkait