Revisi UU ITE Dinilai Pacu Pertumbuhan Ekonomi Digital
Terbaru

Revisi UU ITE Dinilai Pacu Pertumbuhan Ekonomi Digital

Tanpa revisi, alih-alih melindungi masyarakat dalam ruang digital, UU ITE dengan pasal-pasal multitafsirnya, justru lebih sering digunakan untuk melakukan kriminalisasi.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Desakan agar pemerintah segera merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terus bermunculan dari publik. Selain rawan kriminalisasi terhadap masyarakat, UU ITE juga menghambat kegiatan bisnis digital. Perubahan komprehensif akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi digital di Tanah Air karena UU tersebut masih memiliki pasal-pasal multitafsir yang berpotensi menimbulkan permasalahan dan memakan korban dari masyarakat yang seharusnya dilindunginya.

Peneliti Center for Indonesian Police Studies, Noor Halimah Anjani, mengungkapkan hasil penelitian lembaganya menunjukkan tanpa revisi, alih-alih melindungi masyarakat dalam ruang digital, UU ITE dengan pasal-pasal multitafsirnya, justru lebih sering digunakan untuk melakukan kriminalisasi. Revisi pada pasal-pasal multitafsir ini sangat perlu dilakukan karena selain akan mempengaruhi pelaksanaan UU ITE.

Saat ini pemerintah memutuskan revisi UU ITE hanya akan dilakukan terhadap empat pasal terkait perbuatan yang dilarang, antara lain Pasal 27 ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 28 ayat (1) & (2), Pasal 29 dan Pasal 36. Pemerintah juga berencana menyertakan satu pasal tambahan pada ketentuan pidana yaitu pasal 45C. Tetapi sebenarnya masih terdapat pasal multitafsir lainnya. Sebagai contoh, pasal 40 UU ITE mengenai muatan informasi elektronik yang dilarang dan konsekuensi pemutusan akses pada informasi elektronik tersebut. 

Peraturan turunannya, Peraturan Menteri Komunikasi No. 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, juga mencakup perihal pemutusan akses pada konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. “Selain penggunaan frasa “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum” yang dilihat sebagai frasa yang multitafsir, penerapannya juga akan memberatkan para pelaku usaha karena mereka harus mampu memantau seluruh konten informasi pada platform mereka masing-masing dengan ancaman pemutusan akses oleh pemerintah bila gagal,” jelas Halimah, Jumat (25/6).

Selain itu, terakhir kalinya UU ITE direvisi adalah di tahun 2016, sementara pesatnya perkembangan teknologi dan informasi tentunya sudah memunculkan problematika dan ancaman baru semenjak itu. Revisi UU ITE dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk menambahkan aspek-aspek penting sesuai dengan kondisi ruang digital saat ini.

Halimah menambahkan, pembahasan Rancangan Undang-Undangan Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) dan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) sebaiknya juga dipercepat karena pengesahan keduanya dapat melengkapi UU ITE. Saat ini fokus pembahasan revisi UU ITE mencakup enam masalah, yaitu ujaran kebencian, kebohongan, perjudian daring, kesusilaan, fitnah dan pencemaran atau penghinaan. 

Pihaknya berpendapat revisi ini seharusnya dilakukan secara komprehensif dengan membahas aspek-aspek penting yang dapat mendukung transformasi digital dan pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Tidak diperlukan mencabut UU ITE secara keseluruhan, namun hanya menyesuaikan pembahasan dengan perkembangan teknologi dan komunikasi saat ini.

Secara terpisah, Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Choirul Anam menyampaikan terdapat banyak korban kriminalisasi masyarakat atas UU ITE. Kondisi tersebut menandakan UU ITE harus segera direvisi agar tidak bermunculan kasus-kasus lainnya. Dia juga menyampaikan permasalahan UU ITE dalam ruang lingkup kebebasan berkespresi tidak dapat dipidana. Bahkan, Anam mengatakan permsalahan pencemaran nama baik tidak dapat dipidana.

“UU ITE harus direvisi. Kalau ruang berekspresi itu tidak bisa pidana, tidak usah ke polisi. Kalau disinggungkan nama baik orang maka digugat dalam keperdataan,” jelas Anam.

Anggota DPR RI Komisi III, Taufik Basari juga menyayangkan lambatnya proses revisi UU ITE oleh pemerintah. Padahal, permasalahan UU ITE telah banyak mengkriminalisasikan masyarakat yang tidak bermasalah.

“Saya harus akui bangsa ini atau elit-elitnya sering menyangkal realita bahwa penerapan UU ITE bermasalah dan semua orang tidak hanya yang jahat bisa dipidana. Tapi, banyak yang deny (menyangkal) tidak seperti itu dan bilangnya ini kasuistis hanya 1 atau 2 kasus. Sekarang bolanya ada di pemerintah dan posisinya kalau direvisi ini status usulan pemerintah,” jelas Taufik.

SKB Pedoman Implementasi UU ITE

Menteri Komunikasi dan Informatika RI Johnny G Plate, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung ST Burhanuddin resmi menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal-Pasal Tertentu dalam UU ITE. Penandatanganan SKB itu disaksikan oleh Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu (23/6).

Mahfud mengatakan pedoman ini diharapkan penegakan hukum terkait UU ITE tidak menimbulkan multitafsir dan dapat menjamin terwujudnya rasa keadilan masyarakat, sambil menunggu RUU ITE masuk dalam perubahan Prolegnas Prioritas Tahun 2021. Petunjuk teknis yang sudah ada, seperti Surat Edaran Kapolri atau Pedoman Jaksa Agung, kata dia, bisa terus diberlakukan.

"Sambil menunggu revisi terbatas, pedoman implementatif yang ditandatangani tiga menteri dan satu pimpinan lembaga setingkat menteri bisa berjalan dan bisa memberikan perlindungan yang lebih maksimal kepada masyarakat. Ini dibuat setelah mendengar dari para pejabat terkait, dari Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kominfo, masyarakat, LSM, Kampus, korban, terlapor, pelapor, dan sebagainya, semua sudah diajak diskusi, inilah hasilnya," kata Mahfud dalam keterangan persnya seperti dikutip Antara. (Baca Juga: Hasil Tim Kajian: Pemerintah Bakal Revisi 4 Pasal dalam UU ITE)

Dia melanjutkan pada prinsipnya hal ini merespons suara masyarakat bahwa UU ITE itu kerap memakan korban karena dinilai mengandung pasal karet dan menimbulkan kadangkala kriminalisasi, termasuk diskriminasi. Oleh sebab itu, pihaknya mengeluarkan dua keputusan yaitu revisi terbatas dan pembuatan pedoman implementasi ini.

"Di tengah suasana pandemi yang meningkat, kami tetap melaksanakan tugas kenegaraan dan tata pemerintahan, tadi kami berempat, saya Menkopolhukam, Menkominfo, Jaksa Agung, Kapolri, menindaklanjuti keputusan rapat kabinet internal tanggal 8 Juni 2021, yang memutuskan tentang rencana revisi terbatas UU ITE dan pedoman implementasi beberapa pasal UU ITE, Pasal 27, 28, 29, 36," kata Mahfud.

Namun, aspirasi masyarakat masih bisa diteruskan lagi ketika nanti RUU ITE ini dibahas di DPR atau sedang diolah di Kemenkumham. Sementara itu, Menkominfo Johnny G Plate berharap pedoman implementatif dapat mendukung upaya penegakan UU ITE selaku ketentuan khusus dari norma pidana atau lex specialis yang mengedepankan penerapan restorative justice.

Artinya, kata Plate, penerapan UU ITE dapat dilakukan tanpa harus menempuh mekanisme peradilan. Hal ini perlu dilakukan untuk menguatkan posisi peradilan pidana sebagai ultimum remedium atau pilihan terakhir menyelesaikan permasalahan hukum. Pedoman penerapan UU ITE ini berisi penjelasan terkait definisi, syarat, dan keterkaitan dengan peraturan perundangan-undangan lain, terhadap pasal yang sering menjadi sorotan masyarakat.

Tapi, penerapan UU ITE ini dapat dilakukan tanpa harus menempuh mekanisme peradilan atau mengedepankan penyelesaian restorative justice. “Pedoman penerapan ini merupakan lampiran dari Surat Keputusan Bersama yang tadi ditandatangani, mencakup delapan substansi penting dalam pasal-pasal UU ITE," kata Plate.

Tags:

Berita Terkait