Revisi UU MD3 di Luar Prolegnas 2015
Berita

Revisi UU MD3 di Luar Prolegnas 2015

DPD tetap tak dilibatkan, lantaran pembahasan revisi terkait kewenangan DPR.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES
Setelah melalui berbagai tahap, akhirnya Revisi Undang-Undang (RUU) No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) disepakati di luar Program Legislasi (Prolegnas) 2015.  Selain itu, RUU MD3 menjadi inisiatif DPR. Kesepatakan itu diambil setelah palu sidang diketuk pimpinan rapat paripurna, Taufik Kurniawan, di Gedung DPR, Selasa (2/12).

Ketua Badan Legislasi (Baleg) Sareh Wiyono mengatakan, pihaknya telah melakukan tahap harmonisasi. Upaya itu merupakan tindaklanjut dari usulan perubahan UU MD3 dari sejumlah anggota dewan sebagaimana tertuang dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan.

Meski berpacu dengan waktu lantaran anggota dewan pada 5 Desember sudah memasuki reses, maka pembahasan diharapkan dapat dilakukan setelah penyusunan RUU Prolegnas. Dengan kata lain, pembahasan RUU MD3 dilakukan pada masa sidang berikutnya.

Politisi Partai Gerindra itu berpendapat, revisi UU MD3 lebih fokus pada penguatan sistem presidensial, yakni presiden memegang kekuasaan penuh. Selain itu, presiden beberapa waktu lalu telah mengumumkan adanya perubahan nomenklatur kementerian. Oleh sebab itu, DPR harus menyesuaikan nomenklatur tersebut dengan melakukan revisi UU MD3.

“Maka ketentuan dalam UU MD3 perlu disempurnakan,” ujarnya.

Lebih jauh, Sareh mengatakan atas usulan revisi UU MD3, semua fraksi telah menyatakan persetujuannya. Sementara F-PKS mesti sepakat revisi, tetapi memberikan sejumlah catatan terhadap revisi UU MD3. Dikatakan Sareh, DPR merupakan representasi rakyat. Oleh sebab itu agar aspirasi rakyat dapat berjalan, diperlukan penambahan struktur kepemimpinan di alat kelengkapan dewan.

Antara lain, komisi, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), Badan Kerjasama Antar Parlemen, Banggar, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). “Oleh karena itu struktur kepemimpinan alat kelengkapan dewan yang terdiri dari 1 ketua dan 3 wakil ketua dianggap perlu ditambah untuk diubah dengan tujuan yang representatif,” ujarnya.

Mantan Ketua Pengadilan tinggi Jawa Barat itu lebih jauh mengatakan DPD telah mengirimkan surat. Intinya, mengusulkan pengajuan UU di luar Prolegnas. DPD memang meminta agar dilibatkan ikut serta dalam pembahasan RUU MD3. Malahan, DPD mengusulkan penambahan revisi pada beberapa pasal UU MD3, antara lain Pasal 71,72,164,165,166,170,171,249,250,259,276,281,284. Berdasarkan rapat antara Baleg dan Menteri Hukum dan HAM, kata Sareh, prinsipnya dapat memahami usulan DPD.

Namun, berdasarkan kesepakatan sejumlah fraksi pada 17 November lalu, Revisi terhadap UU MD3 terbatas pada kewenangan DPR. Oleh sebab itu, pembahasan hanya dilakukan oleh DPR tanpa melibatkan DPD. Ia mengatakan usulan DPD ditanggapi positif oleh sejumlah fraksi sepanjang diatur oleh ketentuan perundangan yang berlaku.

Kendati demikian, sekalipun usulan DPD tidak terakomodir pada pembahasan Revisi UU MD3 kali ini, maka dapat dilakukan pada masa sidang berikutnya. ”Masukan DPD akan tetap berguna, akan dilakukan pembahasan mendatang jika tidak diterima saat ini,” ujarnya.

Terpisah, Direktur Monitoring, Advokasi dan Jaringan PSHK, Ronald Rofiandri mengatakan untuk melakukan pembahasan sebuah RUU diperlukan waktu yang cukup. Sedangkan DPR sudah memasuki masa reses pada 5 Desember mendatang. Ia khawatir jika dipaksakan akan memunculkan dinamika yang cukup tinggi. Menurutnya penggunaan Pasal 23 UU No.12 Tahun 2011 cukup relevan.

Pasal 23 ayat (2) menyebutkan, “Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan Undang-Undang di luar Prolegnas”. Ia berpandangan penggunaan Pasal 23 ayat (2) dimungkinkan DPR mengusulkan RUU di luar Prolegnas. “Tetapi Prolegnasnya harus ada dulu,” pungkasnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPR.
Tags:

Berita Terkait