Royal “Diskon” Hukuman Pinangki
Kolom

Royal “Diskon” Hukuman Pinangki

Meski besar hukuman tersebut sama dengan tuntutan JPU, ada rasa ketidakproporsionalitas di dalamnya.

Bacaan 4 Menit

Faktor-faktor ini bukan saja tidak dipertimbangkan oleh PT, bahkan bertolak belakang dengan putusan PN (yang mengikuti sidang secara langsung sehingga melihat kesungguhan pengakuan dan penyesalan pelaku). Dalam alasan pemberatnya, hakim PN menyatakan Pinangki tidak mengakui kesalahannya/menyangkal, berbelit-belit dan menutupi keterlibatan pihak lain dalam perkara. Jadi, mungkin hakim PT hanya mengutip pledoi terdakwa (yang dibacakan di akhir sidang/setelah proses pembuktian sehingga terdakwa sudah mengetahui kelemahan kedudukannya) yang memang berisi pengakuan bersalah dan penyesalan. Karena ada pertentangan fakta, maka PT wajib memberikan alasan atau pertimbangan hukum secara lebih jelas alasan peringan ini, hal mana tidak dilakukan sehingga mengakibatkan putusan tersebut cacat (Yurisrudensi Tetap MA No. 1953 K/Pid/1988 dan 863 K/Pid/1994). Adapun alasan “ikhlas dipecat” tidak ada relevansinya dalam penghukuman (suatu konsekuensi logis perbuatan Pinangki).

Ketiga, hakim PT beralasan bahwa sebagai wanita, Pinangki harus mendapat perhatian, perlindungan dan perlakukan adil. Penggunaan isu gender an sich untuk menjustifikasi hukuman yang lebih ringan tidak dikenal. Memang beberapa riset di luar negeri menunjukkan faktor gender kadang mempengaruhi penjatuhan hukuman secara de facto (bukan menjadi pertimbangan resmi dalam hukum). Praktik ini lebih karena, menurut teori atribusi, pelaku perempuan (khususnya di kejahatan selain white-collar crime) umumnya, secara subyektif, dianggap lebih tidak berbahaya, mudah direhabilitasi atau melakukan kejahatan karena pengaruh eksternal (Hedderman and Gelsthorpe, 1997). Namun studi penulis terhadap lebih seribu putusan PN terkait pencurian, penggelapan dan korupsi menunjukkan faktor gender tidak signifikan mempengaruhi berat ringannya hukuman di Indonesia. Apalagi untuk peringanan sebesar 6 tahun. Tidak pernah terjadi.

Walhasil, hanya alasan keempat, yakni terdakwa memiliki anak balita (usia 4 tahun), yang, setidaknya secara teori, wajar digunakan sebagai dasar peringan, meski tidak ada dasar hukumnya dalam UU. Pun dalam teori pidana, ini bukan faktor peringan hukuman yang pokok karena memang sifatnya lebih pada pertimbangan belas kasih (mercy). Berbeda dengan, misalnya, peringanan hukuman kepada pencuri (apapun jenis kelaminnya) yang melakukan pidana karena kemiskinan -hal mana relevan untuk mengurangi derajat kesalahan pelaku. Juga, alasan memiliki anak balita sudah menjadi alasan peringan dalam putusan PN saat menghukum Pinangki 10 tahun. Pendeknya, tidak ada alasan yang kuat yang dirujuk oleh putusan PT.

Urusan peringanan hukuman ini sudah terlalu lama menjadi kritik. Yang lebih penting, hukuman yang terlalu berat, terlalu ringan, atau disparitas hukuman untuk perkara sejenis menganggu rasa dan nilai keadilan, baik bagi masyarakat, korban dan terpidana. Sayangnya RKUHP belum secara serius merespon hal ini. Pengaturan mengenai faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan hakim dalam memutus perkara dalam RKUHP masih bersifat karet, dan sebagian bertolak belakang. Bahkan RKUHP memperluas diskresi hakim, misalnya untuk mengubah hukuman penjara menjadi denda untuk kondisi tertentu. Tanpa batasan yang lebih ketat dalam RKUHP dan/atau perintah untuk disusunnya sentencing guidelines sebagai penerjemahan RKUHP, “sampai lebaran kuda” isu terkait hukuman akan terus ada.

*)Rifqi Sjarief Assegaf, Pemerhati hukum dan Peneliti LeIP.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait