RPP Produk Halal Dinilai Tak Implementatif
Berita

RPP Produk Halal Dinilai Tak Implementatif

Dunia usaha meminta ketentuan sertifikasi halal tidak diwajibkan.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto Ilustrasi: mysharing.co
Foto Ilustrasi: mysharing.co
Belum disahkan, rancangan peraturan pemerintah tentang pelaksanaan UU No.33 Tahun 2014tentang Jaminan Produk Halal (RPP JPH) sudah menuai kontroversi. Kalangan dunia usaha misalnya, banyak yang merasa keberatan dengan draf yang dibuat pemerintah. Pasalnya, di dalam RPP JPH ditegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Tak main-main, produk yang tidak halal wajib ditarik dari peredaran oleh pelaku usaha.

Chief Representative US-ASEAN Business Council, Inc. untuk Indonesia, Desi Indrimayutri, mengeluhkan bahwa aturan semacam itu sangat riskan bagi dunia usaha. Sebab, terbuka kemungkinan investasi berhenti lantaran adanya kewajiban sertifikasi halal. Jika memang draf yang ada saat ini nantinya disahkan, dirinya khawatir pada akhirnya aturan tersebut sulit dijalankan.

“Bayangkan saja, misalnya ada perusahaan yang sudah berinvestasi di Indonesia dan membuat pabrik. Tapi kemudian, mereka tidak bisa menjual produknya karena terganjal aturan sertifikasi ini. Pada akhirnya, akan banyak investor yang lari dari Indonesia,” paparnya usai Temu Wicara Halal di Jakarta, Kamis (3/6).

Selain itu, Desi mengatakan bahwa untuk perdagangan ekspor-impor, seperti yang dilakukan oleh kebanyakan perusahaan di bawah naungan institusinya, pun sulit. Ia menjelaskan, dalam perjanjian ekspor-impor kedua belah pihak biasanya menyepakati untuk tunduk dengan ketentuan hukum. Artinya, para pihak memiliki itikad untuk tunduk terhadap aturan mengenai sertifikasi halal itu. Hanya saja, menurut Desi kenyataannya sangat sulit.

Desi menambahkan, pengaturan sertifikasi halal seharusnya dimulai dengan pembenahan dari hulu hingga hilir. Ia mengeluhkan, penyediaan bahan baku untuk produk halal belum siap. Sehingga, sulit sekali untuk memproduksi produk yang memenuhi kriteria bersertifikat halal.

“Bagaimana produk kita bisa mendapatkan sertifikasi halal, sementara bahan bakunya tidak tersedia,” keluh Desi.

Dewi Rijah Sari, Vice President Scientific Technical Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia, juga mengatakan bahwa masalah bahan baku menjadi kendala utama dalam pemenuhan sertifikasi halal. Ia menjabarkan, suatu produk baru bisa mendapat sertifikat itu jika semua komposisinya lulus pengujian. Padahal, menurut Dewi dalam sebuah produk terkandung banyak material.

“Itu satu persatu ingredient harus diuji. Pengujian satu material itu bisa memakan waktu satu bulan. Sementara, satu produk mengandung banyak material. Berapa lama waktu yang dibutuhkan,” tuturnya.

Dewi juga mengatakan, untuk kosmetika masih sangat sulit menemukan bahan baku yang sesuai dengan ketentuan halal. Kalaupun ditemukan material yang bisa menggantikan, kualitas yang dihasilkan belum tentu sama seperti bahan baku aslinya. Menurut Dewi, kondisi ini sama dengan industri farmasi dan obat-obatan.

“Sayangnya, pemerintah sepertinya belum melihat kosmetika sebagai salah satu prioritas seperti obat untuk mendapatkan pengecualian,” ungkapnya.

Lebih lanjut Dewi menjelaskan, apa yang dipermasalahkan oleh dunia usaha bukan soal iktikad pemerintah menyediakan produk halal bagi konsumen. Ia menyayangkan, ketentuan yang dibuat bersifat kewajiban. Sehingga, produk yang tidak memenuhi sertifikasi halal harus ditarik dari peredaran.

Menurutnya, lebih bijak jika pemerintah membuat aturan yang sifatnya sukarela. Artinya, sertifikasi halal menjadi nilai tambah tersendiri bagi pelaku usaha. Sehingga, konsumen diberikan pilihan terhadap produk yang ada, baik bersertifikat halal maupun tidak.

“Jangan semua mandatory. Seharusnya voluntary saja. Jadi pelaku usaha melihat sertifikasi ini sebagai nilai tambah, biar konsumen yang memilih,” pintanya.

Dewi mengatakan, dirinya sebagai muslim pun memiliki preferensi terhadap produk halal. Hanya saja, ia menilai jika preferensi pribadi ini ditarik dalam ranah kebijakan dunia usaha akan berdampak signifikan.

“Saya sebagai muslim juga senangnya yang halal. Tetapi kalau semua produk tidak halal harus ditarik, kan berdampak panjang. Investor akan lari. Padahal, di belakang satu produk ada berapa ratus orang yang menggantungkan hidupnya,” tandas Dewi.

Tags:

Berita Terkait