Ruang Publik Parameter Kebebasan Berekspresi
Berita

Ruang Publik Parameter Kebebasan Berekspresi

Publik, terutama di daerah kurang mendapat ruang untuk berekspresi.

ADY
Bacaan 2 Menit

Heri menekankan, UU Penyiaran harus direvisi sesuai dengan perkembangan yang terjadi sekarang dan menjamin pemerataan ke berbagai daerah. Pasalnya, saat ini terjadi ketimpangan penggunaan teknologi sehingga masyarakat daerah terbatas mendapat informasi. Untuk mengatasi masalah itu Heri melihat dengan bantuan dari luar negeri, pemerintah menerbitkan program internet sampai ke tingkat desa.

Namun, anggaran yang dikucurkan lebih dari Rp1 triliun per tahun untuk program tersebut tak dapat dikelola secara maksimal. Akibatnya, walau sudah tersedia infrastruktur, tapi tidak dapat digunakan untuk menjamah masyarakat di pedalaman agar melek internet. Bahkan, disinyalir ada dana sekitar Rp5 triliun yang mestinya digunakan untuk mendorong pelaksanaan program itu mandek di Kemeninfo. “Kami(DPR,-red) sudahlayangkan surat ke BPK untuk investigasi proyek itu,” tegasnya.

Sejalan dengan itu Heri menyebut media sebagai bagian dari ujung tombak kebebasan berekspresi, oleh karenanya harus terlepas dari intervensi pemilik media. Terkait bidang sosial-politik, menurutnya pertarungan menjaga kebebasan berekspresi belum selesai. Heri menyebut UU Pers dapat digunakan sebagai contoh sebuah regulasi yang cukup baik mengatur hal tersebut. Untuk itu ia berharap awak media menyoroti isu-isu yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi terutama menyangkut masyarakat yang terancam hak ekonominya.

Pasalnya, ketika mengekspresikan ketidakpuasannya atas ketimpangan atau konflik terhadap hak ekonomi seperti tanah, Heri melanjutkan, masyarakat kerap berhadapan dengan pihak yang kuat. Seperti korporasi dan aparatur pemerintahan. Tak jarang ketika berekspresi akibat konflik yang terjadi seperti demonstrasi, masyarakat tertimpa tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya yang ujungnya mencederai kebebasan berekspresi.

Pada kesempatan yang sama, ketua komisi hukum Dewan Pers, Josep Adi Prasetyo, mengatakan lembaga yang digelutinya itu dibentuk untuk menjamin kebebasan pers. Ketika terdapat media televisi atau radio yang dinilai melanggar aturan, menurutnya hal itu menjadi kewenangan KPI untuk bertindak.

Namun, pria yang disapa Stanley itu menegaskan agar penindakan tidak serta merta membubarkan atau mencabut izin media yang bersangkutan, tapi menindak pelakunya. Sejalan dengan itu Stanley mengajak KPI untuk membahas bagaimana langkah penindakan yang tepat untuk mengatasi persoalan itu, sehingga tidak mengarah pada pemberangusan media. “Dewan pers melawan pembredelan media,” tukasnya.

Sementara jurnalis senior The Jakarta Post, Endy Bayuni, mengingatkan kebebasan berekspresi salah satu agenda penting reformasi. Setelah reformasi berjalan 15 tahun, Endy merasa hal tersebut terlewatkan karena sebagian masyarakat menganggap kebebasan berekspresi yang ada sekarang ini sudah tidak ada masalah lagi. Pasalnya, lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru, kebebasan berekspresi dikebiri.

Tapi melihat hasil survey yang dilakukan Elsam di lima daerah, Endy menandaskan, menunjukan kebebasan berekspresi masih buruk. Ia menyayangkan dalam survey tersebut, tak membandingkan kondisi kebebasan berekspresi saat ini dan beberapa tahun lalu. Padahal, hal tersebut tergolong penting untuk melihat bagaimana perkembangan kebebasan berekspresi.

Dari regulasi yang bersinggungan dengan kebebasan berekspresi, Endy menilai ketentuan yang ada sudah cukup bagus. Masalahnya ada pada tahap implementasi. Mengingat aktor pelanggar kebebasan berekspresi bukan hanya dilakukan negara, maka penting untuk pemerintah menjalankan amanat sejumlah peraturan itu dalam rangka menjamin kebebasan berekspresi.

Sedangkan media bagi Endy mestinya berfungsi melawan segala bentuk pelanggaran atas kebebasan berekspresi karena itu menyangkut profesi awak dan industri media. Sayangnya, melihat beberapa kasus terakhir yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, hanya segelintir media yang menyorotinya. Padahal, ketika ada kasus yang bersinggungan dengan isu tersebut, media harus hadir mengawalnya. “Mereka (media,-red) seolah tak peduli kebebasan berekspresi, sesungguhnya itu terkait dengan profesi kita (jurnalis,-red),” pungkasnya.

Tags: