Rugikan Masyarakat, PP Fungsi Kawasan Hutan Digugat ke MA
Berita

Rugikan Masyarakat, PP Fungsi Kawasan Hutan Digugat ke MA

Karena PP No.104 Tahun 2015 dinilai telah melegalkan/membiarkan pengrusakan lingkungan berupa penghancuran habitat asli flora dan fauna yang endemik secara bersama oleh pemerintah daerah, Gubernur, Bupati/Walikota bersama dengan korporasi perkebunan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS
Ilustrasi kawasan hutan. Foto: MYS

Pemerintah terus mendorong kemudahan berusaha dan investasi di Indonesia dengan menerbitkan berbagai kebijakan. Salah satunya PP No.104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Beleid ini memberi insentif bagi perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dengan membolehkan penggunaan kawasan hutan dengan fungsi konservasi dan/atau lindung untuk perkebunan selama satu daur tanaman pokok.

 

Manager Kajian Kebijakan Walhi Boy Even Sembiring mengatakan PP No.104 Tahun 2015 merupakan kelanjutan dari PP No.10 Tahun 2010 jo PP No.60 Tahun 2012. Awalnya, regulasi ini diterbitkan pemerintahan masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk melegalkan perizinan dan aktivitas perkebunan di kawasan hutan dengan fungsi produksi. Namun, di era kepemimpinan Jokowi, ketentuan ini diperluas dan menyasar kawasan hutan fungsi konservasi dan lindung.

 

“Penerbitan PP No.104 Tahun 2015 merupakan salah satu kebijakan terburuk yang diterbitkan di awal pemerintahan Jokowi. PP ini melanjutkan sekaligus memperluas upaya penghapusan kejahatan dan perilaku buruk korporasi perkebunan, khususnya kelapa sawit melalui penerbitan izin,” kata Boy dalam jumpa pers di kantor Walhi Jakarta, Rabu (2/10/2019). Baca Juga: MA Diminta Batalkan PP OSS

 

Walhi bersama Perkumpulan Bantuan Hukum (PBH) Kalimantan telah mendaftarkan permohonan keberatan atau uji materi terhadap PP No.104 Tahun 2015 ke Mahkamah Agung (MA). Dalam permohonan yang didaftarkan Selasa (1/10) kemarin itu, Boy menuturkan Walhi dan PBH Kalimantan meminta majelis MA menyatakan Pasal 51 ayat (2) PP No.104 Tahun 2015 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

 

Seperti, UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah melalui UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perppu No.1 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi UU; UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; dan UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.

 

“Kita meminta Majelis MA menyatakan Pasal 51 ayat (2) PP No.104 Tahun 2015 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” pintanya.

 

Pasal 51 ayat (2) PP No. 104 Tahun 2015

Dalam hal kegiatan usaha perkebunan yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah daerah berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang ditetapkan dengan peraturan daerah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan berdasarkan tata ruang yang berlaku tetap sesuai dengan tata ruang sebelumnya namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi UndangUndang, areal tersebut menurut peta Kawasan Hutan yang terakhir merupakan Kawasan Hutan dengan fungsi konservasi dan/atau lindung, diberikan kesempatan untuk melanjutkan usahanya selama 1 (satu) daur tanaman pokok.

 

Boy menjelaskan permohonan itu, Walhi dan PBH Kalimantan sebagai wali (gurdian) dari lingkungan yang mempunyai hak hukum (legal right) yang mewakili keseluruhan ekosistem yang berada di kawasan hutan dengan fungsi konservasi dan lindung. Menurutnya, dengan memberi kesempatan terhadap korporasi perkebunan melanjutkan usahanya selama 1 daur tanaman pokok di kawasan hutan dengan fungsi lindung dan konservasi berarti menghancurkan habitat asli flora dan fauna yang endemik.

 

“Ini merugikan masyarakat dan generasi masa depan,” kata dia.

 

Menurut Boy, pembiaran alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi perkebunan berarti memperbesar potensi bencana. Kawasan hutan lindung seharusnya memberi perlindungan dan memastikan kelanjutan kesuburan tanah, bukan dikorbankan untuk investasi perkebunan. “Ini artinya rakyat dan lingkungan hidup dikorbankan untuk kepentingan investasi,” tudingnya.

 

Dia mengingatkan UU No.18 Tahun 2013 melarang setiap orang melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin di dalam kawasan hutan. Kemudian melarang setiap orang mengangkut dan/atau menerima titipan, menjual, memiliki, menyimpan, membeli dan memasarkan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin. Ada ancaman pidana dan denda bagi pihak yang tidak mematuhi ketentuan itu.

 

Ancaman serupa juga dikenakan terhadap pihak yang memanfaatkan kayu hasil pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi. Namun, penegakan hukum terhadap pelanggaran itu menurut Boy berpotensi terhambat karena PP No.104 Tahun 2015 melegalkan perusahaan perkebunan berkegiatan di kawasan hutan lindung dan konservasi.

 

“Aparat penegak hukum akan ragu melakukan penindakan karena perusahaan perkebunan yang berada di kawasan hutan lindung dan konservasi itu berdalih memiliki izin,” lanjutnya.

 

Direktur Eksekutif PBH Kalimantan Khaeruddin mengatakan sejak 2017 lembaganya sudah melaporkan sedikitnya 13 perusahaan perkebunan di Kalimantan Barat karena beroperasi di kawasan hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah melakukan verifikasi terhadap laporan itu, tapi sampai sekarang tidak ada sanksi yang diberikan kepada belasan perusahaan perkebunan tersebut.

 

Khaeruddin mencatat izin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit yang beroperasi di kawasan konservasi cagar alam di Kalimantan Barat seluas 20 hektar, dan taman nasional 228 hektar, serta di hutan lindung 7.683 hektar. “Perkiraan total luas IUP kelapa sawit yang berada di kawasan hutan di Kalimantan Barat mencapai 90.111 hektar. Pasal 51 ayat (2) PP 104 Tahun 2015 merupakan salah satu faktor penghambat penegakan hukum tersebut,” tambahnya.

Tags:

Berita Terkait