RUU Perasuransian Dorong Perusahaan Asuransi untuk IPO
Utama

RUU Perasuransian Dorong Perusahaan Asuransi untuk IPO

Bagi perusahaan asuransi yang seluruh sahamnya dimiliki asing, wajib melakukan penawaran umum kepada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

FAT
Bacaan 2 Menit
Menkeu Chatib Basri saat menerima naskah RUU Perasuransian dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, Selasa (23/9). Foto: RES
Menkeu Chatib Basri saat menerima naskah RUU Perasuransian dalam sidang paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, Selasa (23/9). Foto: RES
Setelah membutuhkan waktu dua tahun pembahasan semenjak Surat Presiden Nomor: R-63/Pres/07/2012 tanggal 17 Juli 2012 sampai ke DPR, RUU tentang Perasuransian akhirnya disetujui menjadi UU. Pengesahan tersebut dilakukan melalui rapat paripurna DPR di Komplek Parlemen di Jakarta, Selasa (23/9).

Wakil Ketua Komisi XI DPR Andi Rahmat menuturkan, atas surat presiden tersebut dewan menindaklanjutinya dengan membahas RUU di proses pembicaraan tingkat I. Beberapa kali rapat kerja dengan pemerintah, pembahasan di tingkat panitia kerja (panja), tim perumus (timus) dan tim sinkronisasi (timsin) dilakukan DPR.

"Berdasarkan pendapat akhir mini yang disampaikan fraksi-fraksi dan pemerintah, seluruh fraksi dan pemerintah menyatakan persetujuan terhadap naskah RUU," kata Andi.

Kepemilikan perusahaan perasuransian asing juga diatur dalam beleid ini. Namun, pembatasan kepemilikan asing dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Untuk besaran pastinya akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP). Dalam ketentuan peralihan, tepatnya Pasal 88 ayat (1) terdapat kewajiban perusahaan asuransi yang seluruh sahamnya dimiliki asing untuk melakukan penawaran umum atau initial public offering (IPO) kepada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Jangka waktu IPO ini paling lambat telah dilakukan lima tahun sejak RUU ini diundangkan. Kewajiban IPO ini untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a RUU Perasuransian. "Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian kepemilikan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan sanksi bagi perusahaan perasuransian yang tidak melakukan penyesuaian kepemilikan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)," kata Andi.

Selain mendorong IPO, lanjut Andi, perubahan sejumlah substansi lainnya terkait dengan bentuk badan hukum. Sebelumnya di UU yang lama, bentuk badan hukum penyelenggara usaha perasuransian hanya Perseroan Terbatas (PT). Kini di RUU yang baru disahkan, ditambahkan dengan bentuk badan hukum koperasi dan usaha bersama.

Menurutnya, RUU ini lahir lantaran pertumbuhan industri perasuransian baik secara nasional maupun global mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan layanan jasa perasuransian yang semakin bervariasi. Sejalan dengan itu, keberadaan RUU ini penting karena sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat dalam pengelolaan risiko dan investasi yang semakin tidak terpisahkan.

"Penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan mengenai perasuransian harus dilakukan untuk menciptakan industri yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah dan kompetitif serta meningkatkan perannya dalam mendorong pembangunan nasional," katanya.

Jika dibandingkan dengan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, kata Andi, terdapat sejumlah tambahan pasal dalam RUU ini. Sebelumnya, pada UU tentang Usaha Perasuransian (UU yang lama) hanya terdapat 72 pasal, lalu dalam RUU bertambah menjadi 92 pasal. Selain itu, juga terdapat penambahan bab, dari 15 bab di UU yang lama menjadi 18 bab.

Menteri Keuangan M Chatib Basri menyambut baik pengesahan RUU ini. Ia mengatakan, substansi dari RUU ini memberikan aturan lebih baik bagi masyrakat. "UU Usaha Perasuransian telah tertinggal dari praktik dan celah hukum kalau tidak ditangani akan merugikan masyarakat dan komunitas global," katanya.

Menurut Chatib, Indonesia yang merupakan bagian dari komunitas global itu perlu menyelaraskan praktik standar organisasi sesuai yang berlaku di internasional. Terlebih lagi, dalam industri jasa keuangan percepatan distribusi dan teknis mekanisme sering terjadi. Hal ini berdampak dengan munculnya risiko keuangan baru.

"Kehadiran RUU Perasuransian harus kita syukuri, kemudian harus dibuat peraturan pemerintah dan peraturan OJK dan dilakukan upaya edukasi serta sosialisasi kepada masyarakat luas terkait RUU ini," tutup Chatib.
Tags:

Berita Terkait