RUU PPRT Dorong Formalisasi Pekerjaan Sektor Domestik
Terbaru

RUU PPRT Dorong Formalisasi Pekerjaan Sektor Domestik

Formalisasi PRT diatur dalam RUU PPRT seperti jenis pekerjaan, akomodasi tempat tinggal, jam kerja, hari libur, dan kesetaraan PRT dengan pemberi kerja.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Perlindungan terhadap pekerja di sektor formal relatif lebih baik ketimbang sektor informal. Muhyiddin menyebut kebijakan pemerintah mendorong agar semua pekerja terlindungi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja adalah mendorong pekerjaan sektor informal menjadi formal salah satunya PRT yang merupakan jenis pekerjaan domestik. Langkah pemerintah untuk mendorong PRT masuk dalam sektor formal melalui RUU PPRT.

Tapi Muhyiddin melihat ada tantangan dalam pelaksaan RUU PPRT jika pekerjaan itu langsung dialihkan ke sektor formal. Sebagai solusi, pihaknya mengusulkan proses mendorong PRT sebagai bagian dari sektor pekerjaan formal dilakukan secara bertahap. Untuk tahap awal sifat pekerjaan PRT masih sosio kultural, tapi diatur juga norma yang mendorong formalisasi PRT misalnya mengatur jenis pekerjaan, jam kerja, akomodasi tempat tinggal, jam kerja, hari libur, dan kesetaraan PRT dengan pemberi kerja.

“Beberapa hal tersebut kami masukan dalam RUU PPRT. Insya Allah maksimal 2 pekan ke depan pemerintah bisa menyampaikan DIM ke DPR untuk membahas RUU PPRT,” pungkasnya.

Sebelumnya Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga menekankan pentingnya perlindungan bagi perempuan dan anak yang kerap kali menjadi objek perekrutan PRT dengan iming-iming tertentu. Saat ini kebijakan perlindungan PRT belum komprehensif, hanya ada Permenaker No.2 Tahun 2015 tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Beleid itu hanya berlaku bagi pekerja dan pengguna yang melalui Lembaga Penyalur PRT (LPPRT).

Sementara itu, belum ada kebijakan yang mengatur mengenai PRT maupun pengguna yang tidak melalui LPPRT. Menurut Bintang hal ini menyebabkan lemahnya perlindungan bagi PRT maupun pengguna. Kondisi ini berpotensi meningkatkan jumlah pencari kerja sebagai PRT seiring dengan arus balik lebaran dan para PRT tersebut rentan dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab untuk memperoleh keuntungan.

Persoalan itu bagi Bintang harus diantisipasi antara lain dengan melibatkan berbagai pihak di daerah untuk aktif mengedukasi calon pekerja perempuan agar mencari kerja melalui prosedur yang benar. “Ini bukan semata tanggung jawab pemerintah pusat melainkan semua elemen masyarakat untuk sama-sama peduli terhadap fenomena yang kerap terjadi setelah lebaran,” ujarnya.

Bintang menegaskan pentingnya perlindungan terhadap PRT mengingat selama ini mayoritas dari kalangan perempuan dan sangat rentan terhadap kekerasan, diskriminasi, hingga eksploitasi. Kementerian PPPA mencatat jumlah PRT di Indonesia mencapai hampir 2 juta jiwa, dan 18 persen di antaranya adalah PRT anak yang berumur di bawah 18 tahun, dan 84 persen perempuan.

“Saya mendorong dan mengajak berbagai pihak untuk mengikuti prosedur yang benar dalam perekrutan PRT dan memastikan mereka mendapatkan jaminan perlindungan,” urai Bintang.

Selain itu Bintang menyebut penting bagi pemangku kepentingan di daerah untuk mendorong pelatihan wirausaha dan keterampilan untuk remaja perempuan. Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menginisiasi kebijakan berupa RUU Perlindungan PRT dan sudah dikirimkan kepada Pemerintah.

Kemudian pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan dan beberapa Kementrian/Lembaga maupun Gugus Tugas yang dibentuk Kantor Staf Presiden sedang menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) untuk segera diserahkan ke DPR RI. Selanjutnya dilakukan pambahasan hingga disahkannya menjadi UU Perlindungan PRT.

Tags:

Berita Terkait