Saatnya Mengingat Kembali Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata
Fokus

Saatnya Mengingat Kembali Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata

Hubungan perdata dalam lingkup bisnis makin banyak dibangun dengan basis elektronik. Hukum acara tak mungkin mengabaikan perkembangannya.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Terkait alat bukti elektronik, Prof. Sogar berpendapat sudah menjadi hal wajar dalam dunia peradilan saat ini. “Alat bukti elektronik merupakan hasil kemajuan teknologi yang tak terhindarkan. Harus kita terima dan kita akomodir dalam UU kita,” ujarnya saat dihubungi hukumonline.

 

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Keperdataan itu menambahkan, dalam Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) ada lima jenis alat bukti, pertama surat/tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. “Sedangkan alat bukti elektronik dapat dijumpai pada UU Informasi dan Transaksi Elektronik,” terangnya.

 

UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektroni – kini sudah direvisi dengan UU No. 19 Tahun 2016—salah satu pintu masuk pengakuan alat bukti elektronik, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Menurut Undang-Undang ini informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan hasil cetakanya merupakan ‘alat bukti hukum yang sah’. Struk belanja atau hasil cetakan dari mesin Anjungan Tunai Mandiri (ATM), misalnya, sudah bisa dijadikan bukti di persidangan.

 

Made Sutrisna juga menguatkan pandangan Prof. Sogar. “Memang, mau tidak mau (alat bukti elektronik) sudah masuk ke ranah peradilan sebagai alat bukti,” ujarnya.

 

Meskipun alat bukti elektronik sudah lazim dipergunakan dalam dunia peradilan tetapi, kata Made, perlu ada landasan hukum acara khusus yang menguatkannya. Jika dasarnya jelas dan kuat, hakim tak perlu ragu-ragu memutuskan kekuatan suatu alat bukti yang bersifat elektronis.

 

(Baca juga: Bisakah Rekaman Diam-Diam Percakapan Telepon Dijadikan Alat Bukti)

 

Seperti disinggung Made Sutrisna, surat adalah alat bukti tertulis yang sangat penting diperhatikan. Alat bukti surat bisa berupa akta otentik, akta di bawah tangan, atau akta sepihak atau pengakuan sepihak. Dalam praktek pengadilan para pihak lebih banyak mengandalkan alat bukti surat. Menghadirkan alat bukti surat ke pengadilan berhubungan pula dengan masalah dugaan pemalsuan atau memasukkan data yang tidak benar ke dalam akta otentik. Tumpang tindih sertifikat atas suatu lahan, misalnya, menambah pelik pembuktian surat di lapangan.

 

Saksi

Jenis alat-alat bukti dalam hukum acara perdata diatur Pasal 164 HIR, yakni surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dari sistematika, alat bukti surat memang paling kuat. Tetapi tak selamanya alat bukti surat itu menjamin kemenangan perkara jika terjadi sengketa perdata. Bisa jadi, alat bukti itu tidak mencukupi batas minimal pembuktian; atau alat bukti yang dimiliki pihak lawan jauh lebih kuat.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait