Saatnya Mengingat Kembali Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata
Fokus

Saatnya Mengingat Kembali Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata

Hubungan perdata dalam lingkup bisnis makin banyak dibangun dengan basis elektronik. Hukum acara tak mungkin mengabaikan perkembangannya.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Istilah sumpah pocong sebenarnya tak dikenal dalam HIR dan BW. Tetapi sifat dan hakikat sumpah pocong bisa dihubungkan dengan sumpah pemutus atau sumpah penentu (decisoir eed). Salah satu pihak meminta pihak lain mengucapkan sumpah untuk menggantungkan pemutusan perkara di antara mereka. Jika salah satu pihak bersedia mengucapkan sumpah pemutus, maka dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara. Sumpah itu diikuti dengan pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang diucapkan.

 

(Baca juga: Pelapor Tantang Kabid BPN Sumpah Pocong)

 

Menerapkan sumpah pemutus tidak mudah bagi para pihak dan hakim yang mengadili perkara. Putusan Mahkamah Agung No. 575K/Sip/1973 menyatakan permohonan sumpah decisoir hanya dapat dikabulkan jika dalam suatu perkara sama sekali tidak terdapat bukti-bukti lain. Dalam penyusunan Hukum Acara Perdata nasional mendatang, sumpah pemutus ini perlu mendapat perhatian.

 

Selain sumpah pemutus, dikenal pula sumpah tambahan (suppletoire eed) dan sumpah penaksir (aestimatoire eed). Sumpah tambahan adalah sumpah yang diperintahkan hakim kepada salah satu pihak untuk mengasngkat sumpah agar dengan sumpah itu perkaranya bisa diputus atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan (Pasal 1940 BW). Dalam sumpah pemutus, yang meminta angkat sumpah adalah pihak yang berperkara; sedangkan dalam sumpah tambahan, hakimlah yang memerintahkan salah satu pihak. Sumpah penaksir adalah sumpah yang diucapkan untuk menetapkan jumlah ganti rugi atau harga barang yang akan dikabulkan. Jika penggugat tidak bisa menyampaikan berapa nilai kerugian riil atau berapa harga barang sebenarnya, dan tergugat pun tak mau membuktikan, maka besarnya nilai ganti rugi atau harga barang bisa ditentukan lewat sumpah penaksir.

 

(Baca juga: Sumpah Palsu dan Pembuktiannya)

 

Persoalan yang mungkin muncul adalah praktek pengadilan yang selalu mengharuskan penggugat membuat rincian detail kerugian. Tuntutan ganti rugi materiil yang tak bisa dirinci dengan benar dan dapat dibuktikan lewat alat bukti surat seringkali ditolak hakim.

 

Apapun jenis alat bukti yang sudah diatur dalam HIR/RBg dan BW, penyusunan Hukum Acara Perdata nasional ke depan tak mungkin mengabaikan pembahasan tentang perkembangan alat-alat bukti di lapangan, termasuk yang disebut tegas dalam perundang-undangan maupun yang sudah pernah diputuskan hakim.

Tags:

Berita Terkait