Saatnya Mengingat Kembali Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata
Fokus

Saatnya Mengingat Kembali Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata

Hubungan perdata dalam lingkup bisnis makin banyak dibangun dengan basis elektronik. Hukum acara tak mungkin mengabaikan perkembangannya.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Putusan Mahkamah Agung No. 1083/K/Pdt/1984 adalah contoh kasus alat bukti persangkaan. Dalam kasus ini pihak penggugat mengajukan fakta-fakta yang terdiri dari pengukuran dan pembayaran retribusi kayu terperkara. Dengan latar belakang tersebut, pengadilan mengkonstruksikan alat bukti persangkaan untuk membuktikan kebenaran tentang hubungan kerja pengelola kayu log di areal konsesi tergugat.

 

Dalam kasus itu, penggugat mendalilkan antara penggugat dan tergugat telah terjadi perjanjian lisan pengolahan kayu log di areal konsesi tergugat sebagai lanjutan dari perjanjian tertulis sebelumnya. Perjanjian lisan itulah yang harus dibuktikan penggugat sedangkan bukti konkret dan pasti untuk itu tidak dimilikinya. Untuk itu penggugat mengajukan fakta berupa berupa pengukuran kayu log, pembayaran retribusi dan perjanjian tertulis sebelumnya. Melalui fakta yang diketahui itu hakim menarik kesimpulan tentang adanya persangkaan konkret mendekati kepastian bahwa antara penggugat dan tergugat telah terjadi perjanjian lisan mengenai kerjasama pengolahan kayu log di areal konsesi hutan tergugat sebagai lanjutan dari perjanjian tertulis yang telah disepakati sebelumnya.

 

Pengakuan

Pasal 1866 KUH Perdata dan Pasal 164 HIR meletakkan pengakuan pada urutan keempat mengenai alat bukti. Pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti berdasarkan Pasal 1923 BW dan Pasal 174 HIR ialah (i) pernyataan atau keterangan yang disampaikan salah satu pihak kepada pihak lain dalam pemeriksaan suatu perkara; (ii) pernyataan atau keterangan tersebut diucapkan di muka hakim atau dalam persidangan; atau (iii) keterangan itu bersifat pengakuan (confession) bahwa apa yang dilakukan pihak lawan benar untuk sebagian atau seluruhnya.

 

Jika salah satu pihak sudah mengakui fakta tertentu, menurut Yahya Harahap dalam bukunya, hakim tidak lagi dapat dibenarkan untuk memberi pendapat tentang masalah atau objek pengakuan. ‘Hakim tidak boleh lagi menyelidiki kebenaran pengakuan itu’.

 

Pengakuan bisa dilakukan secara lisan atau secara tertulis. Pengakuan yang disampaikan para pihak langsung di depan hakim akan sangat kuat. Tetapi pengakuan lewat kuasa hukum juga dibenarkan. Pasal 174 HIR menyebutkan: ‘Pengakuan yang diucapkan di hadapan hakim cukup menjadi bukti yang memberatkan orang yang mengaku itu, baik yang diucapkan sendiri maupun dengan bantuan orang lain yang khusus dikuasakanuntuk itu’.

 

Pengakuan yang tulus dari salah satu pihak berperkara mengenai objek yang disengketakan tak semudah membalik telapak tangan. Made Sutrisna, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan pengakuan memang merupakan salah satu alat bukti penting dalam proses persidangan. Tetapi dalam kenyataannya sulit sekali orang mengakui apa yang didalilkan oleh para lawannya sebab mereka akan mencoba mempertahankan argumen dalil dari masing-masing pihak. “Pengakuan juga salah satu bukti utama tapi dalam persidangan jarang sekali terjadi. Kalaupun pengakuan, pengakuan sebagian. Punya utang Rp1 juta dia ngaku Rp100 ribu,” kata Made.

 

Sumpah

Meskipun berada pada urutan terakhir alat bukti perkara perdata, sumpah menjadi salah satu alat bukti yang sering menimbulkan pro kontra di masyarakat. Apalagi jika dihubungkan dengan sumpah pocong. Ada pengacara yang mengajak lawannya melakukan sumpah pocong untuk membuktikan suatu hal mengenai objek yang disengketakan.

Tags:

Berita Terkait