Saatnya Mengingat Kembali Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata
Fokus

Saatnya Mengingat Kembali Alat-Alat Bukti dalam Perkara Perdata

Hubungan perdata dalam lingkup bisnis makin banyak dibangun dengan basis elektronik. Hukum acara tak mungkin mengabaikan perkembangannya.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

 

Itu sebabnya, dalam proses pembuktian pada perkara perdata kehadiran saksi sangat penting. Pasal 1895 KUH Perdata menyebutkan ‘Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang’. Pertanyaannya, siapakah yang dimaksud dengan saksi? Pada dasarnya, saksi adalah orang yang melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan. Namun Mahkamah Konstitusi sudah memperluas makna saksi, termasuk pula orang yang mengetahui suatu peristiwa dari orang lain.

 

(Baca juga: Saksi dan Bukti Transfer Uang dalam Perjanjian Utang Piutang)

 

Siapapun yang memenuhi kriteria tersebut dapat diajukan menjadi saksi di pengadilan. Tetapi ada beberapa orang yang dikecualikan. Mereka yang dikecualikan antara lain diatur dalam Pasal 145 HIR. Pada umumnya anggota keluarga sedarah bisa ditolak kesaksiannya, dan mereka boleh mengundurkan diri. Namun, mereka tidak dapat ditolak sebagai saksi jika sengketa yang sedang diadili berkenaan dengan perselisihan sesama anggota keluarga sedarah atau semenda. Misalnya, dalam perkara warisan.

 

M. Yahya Harahap, dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (cetakan 2016), berpendapat bahwa menjadi saksi dalam perkara perdata adalah kewajiban hukum tetapi tidak imperatif dalam segala hal sebagaimana perkara pidana. Yahya merujuk pandangannya pada Pasal 139-143 HIR atau Pasal 165-170 RBg. Pasal 143 ayat (1) HIR menyatakan “tidak seorang pun yang dapat dipaksa datang menghadap pengadilan negeri untuk memberi kesaksian di dalam perkara perdata, jika tempat berdiamnya atau tempat tinggalnya di luar keresidenan tempat kedudukan pengadilan negeri itu”.

 

Berkaitan dengan keterangan saksi sebagai alat bukti, penting untuk memahami kalimat unus testis nullus testis: kesaksian seorang saksi tidak dianggap kesaksian. Pengertian kalimat ini tidak secara harfiah satu orang saksi. Sepuluh orang saksi pun dihitung satu jika saksi yang memenuhi syarat materiil (Pasal 169 HIR) hanya satu orang.

 

Masalah krusial dalam proses pembuktian melalui keterangan saksi adalah jika saksi yang dihadirkan adalah pejabat yang punya kewajiban menyimpan rahasia. Ini disinggung dalam Pasal 146 HIR: ‘semua orang yang karena kedudukan pekerjaan atau jabatannya yang sah diwajibkan menyimpan rahasia’. Yahya Harahap juga mengakui masalah ini ‘sering menimbulkan ketidakjelasan dalam praktek peradilan’.

 

Persangkaan

Alat bukti persangkaan (presumptie, vermoeden) termasuk yang minim dijelaskan dalam HIR, sehingga memerlukan penjelasan lebih detail pada pembentukan hukum acara perdata ke depan. Menurut Pasal 1915 BW (KUH Perdata), persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada persangkaan berdasarkan undang-undang dan ada yang tidak berdasarkan undang-undang. Contoh persangkaan berdasarkan undang-undang adalah setiap anak yang dilahirkan dalam perkawinan memberikan status bapak bagi si suami dalam keluarga. Artinya, suami dianggap sebagai bapak dari bayi yang lahir dalam perkawinan tersebut. Persangkaan hakim memberikan kebebasan kepada hakim untuk mempersangkaan sesuatu asalkan tetap berdasarkan fakta penting.

 

Persangkaan oleh hakim sangat potensial menimbulkan perdebatan di lapangan. Apalagi jika dianut pandangan bahwa alat bukti persangkaan hakim mempunyai kekuatan yang bebas. Kebebasan hakim melakukan persangkaan bukan tanpa syarat. Pasal 1922 BW misalnya mengatur bagaimana cara hakim menarik persangkaan. Pasal ini, plus Pasal 173 HIR, memberi warning kepada hakim agar berhati-hati menarik persangkaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait