Salah Kaprah Tafsir BKN dan KPK Soal 75 Pegawai di Putusan MK
Utama

Salah Kaprah Tafsir BKN dan KPK Soal 75 Pegawai di Putusan MK

Para instansi pemerintah juga dianggap salah menafsirkan perintah Presiden.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 4 Menit
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan akibat tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) melaporkan Dewas KPK Indriyanto Seno Adji yang diduga telah melakukan pelanggaran etik sebagai anggota Dewas, beberapa waktu lalu. Foto: RES
Perwakilan 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan akibat tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) melaporkan Dewas KPK Indriyanto Seno Adji yang diduga telah melakukan pelanggaran etik sebagai anggota Dewas, beberapa waktu lalu. Foto: RES

Polemik mengenai nasib 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terus bergulir. KPK, Badan Kepegawaian Nasional (BKN) beserta para instansi terkait dengan dalih hasil dari asesor akhirnya memutuskan untuk memecat 51 pegawai dan melakukan pendidikan atau ujian ulang terhadap 24 pegawai lainnya.

Wakil Kepala BKN Supranawa Yusuf mengklaim apa yang dilakukan BKN, KPK dan para instansi lain seperti KemenPANRB telah sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo. Salah satu contohnya, ia bersama sejumlah instansi membuka hasil tes 75 pegawai KPK satu persatu untuk memastikan apakah mereka masih bisa dibina ataupun memang tidak bisa lagi diupayakan.

Yang cukup menarik mengenai konsideran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang menurut Supranawa justru dipelintir oleh sejumlah pihak. Menurutnya, dalam konsideran putusan MK itu tidak hanya tertulis “pengalihan status tidak merugikan pegawai”, tetapi ada lanjutan yang menyatakan di luar desain yang telah ditentukan.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijaka (PSHK), Gita Putri Damayana, mengatakan kalau melihat kalimat dari konsideran putusan MK sebetulnya rumusannya tidak rumit yaitu alihfungsi yang ada dalam ketentuan pasal 69B dan 69C sama sekali tidak menyebutkan mengenai ketidaklulusan dan saringan lebih lanjut dari pegawai KPK pasca UU 19/2019.

“Kalau misalnya Perkom KPK justru menggunakan dalih PP 17/2020 sebagai lex specialis untuk melakukan penyaringan pegawai, padahal jelas-jelas putusan MK menyebutkan bahwa tidak boleh alihfungsi tersebut merugikan pegawai KPK,” ujarnya kepada Hukumonline.

Gita berpendapat status tidak bisa dibina, cap merah bagi pegawai KPK yang tidak lulus dalam seleksi dianggap sudah merupakan stigma negatif bagi mereka. Sehingga sulit untuk melihat narasi ini tidak merugikan 51 pegawai KPK yang tidak lolos dan 24 yang harus mengikuti pelatihan dan pendidikan ulang tanpa ada jaminan bisa menjadi ASN.

“Tapi yang paling penting adalah menolak permasalahan yang terjadi di KPK ini semata persoalan kepegawaian belaka. Ada permasalahan serius ketika lembaga negara satu suara seperti menolak mematuhi Presiden dalam menggunakan alat problematik untuk mengimplementasikan kebijakan,” pungkasnya. (Baca: Pemecatan 51 Pegawai KPK, Dinilai Bentuk Abai terhadap Putusan MK)

Tags:

Berita Terkait