Saling Lapor Saling Serang Menuju Pilpres
Fokus

Saling Lapor Saling Serang Menuju Pilpres

Aparat penegak hukum laksana pelanduk terjepit di antara dua gajah. Kampanye hitam terus berlangsung tanpa sanksi hukum.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Foto: RES.
Foto: RES.
Hari H pemilihan presiden (pilpres) dan wakil presiden makin dekat. Mahkamah Konstitusi sudah memberikan satu solusi atas kemungkinan persoalan hukum yang muncul kelak pasca pemilihan. Mahkamah memutuskan mengesampingkan aturan sebaran perolehan suara di provinsi. Pilpres 2014 hanya berlangsung satu putaran.

Tetapi ada persoalan lain yang bisa mengundang resiko lebih berbahaya, terutama bagi keutuhan berbangsa dan bernegara. Apalagi kalau bukan kampanye hitam. Terhitung sejak KPU menetapkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, kampanye hitam mengenai pasangan ini terus menghiasi media massa dan media sosial. Ironisnya, meskipun kampanye hitam itu terang-terangan menabrak rule of the game pemilu, aparat penegak hukum termasuk Badan Pengawas Pemilu tak bisa berbuat banyak.

Hingga menjelang pelaksanaan Pilpres nyaris tak ada satu pun pelaku kampanye hitam yang diproses hukum dan dikenakan sanksi. Dua stasiun televisiyang membela pasangan berbeda sudah mendapat peringatan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Toh, pelaku personal belum mendapatkan sanksi setimpal.

Sebutlah isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang diusung tabloid Obor Rakyat. Undang-Undang No. 42 Tahun 2008tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tegas melarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau pasangan calon presiden-wakil presiden dalam kampanye. Sanksi hukumnya 6-24 bulan penjara dan denda maksimal 24 juta.

Meskipun Dewan Pers menyatakan Obor Rakyatbukan produk pers, proses di kepolisian masih jauh dari kemungkinan sanksi. Para saksi sudah dipanggil, termasuk orang-orang yang diduga menerbitkan dan menyebarkan tabloid yang isinya menyerang Jokowi itu. Polisi memang sudah menetapkan Pimred dan penulis tabloid ini sebagai tersangka. Melihat waktu tersisa, sulit bagi polisi merampungkan berkas perkara ini hingga dibawa ke pengadilan sebelum hari H Pilpres.

Yang terjadi adalah saling serang, saling lapor. Entah oleh pendukung, atau laporan oleh tim resmi pasangan capres-cawapres. Masing-masing berusaha saling menjatuhkan, mencari dan mengeksploitasi kelemahan dan kesalahan masa lalu pasangan capres. Kasus dugaan korupsi pengadaan bus transjakarta, misalnya, benar-benar dieksploitasi untuk menjatuhkan Jokowi, sebaliknya kasus dugaan korupsi pengadaan kereta api dari Jepang di Kementerian Perhubungan dieksploitasi untuk menyerang (mantan Menteri Perhubugan) Hatta Rajasa.

Kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (Prabowo Hatta) melaporkan penyebaran kampanyehitam lewat spanduk dan media sosial. Termasuk pernyataan mantan Menhankam dan Pangab, Wiranto, soal surat Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang diterbitkan tahun 1998. Kampanye di luar jadwal dan penggunaan tempat yang dilarang untuk kampanye. Kubu Jokowi-JK melaporkan tabloid Obor Rakyat yang dinilai melakukan penghinaan dan penistaan. Juga melaporkan anggota Babinsa yang melakukan pendataan penduduk berdasarkan preferensi politik.

Di Bawaslusaja, hingga 25 Juni 2014, tercatat tak kurang dari 33 laporan dari kedua kubu capres. Komisioner Bawaslu, Nelson Simanjuntak, menjelaskan 8 dari 33 kasus itu masih ditangani. Sisanya sudah diselesaikan melalui rekomendasi. Sebagian besar laporan itu, kata Nelson, bukan pelanggaran pemilu. Ada juga yang direkomendasikan dihentikan karena daluarsa. Dalam kasus Obor Rakyat menyerahkan sepenuhnya kepada polisi.

Pekerjaan rumah polisi bukan hanya mengungkap siapa di balik Obor Rakyat dan pelanggaran pidana apa yang dilakukan. Polisi juga mendapat pengaduan Jaksa Agung Basrief Arief. Jaksa Agung mengadu lantaran ia dituduh mengadakan komunikasi dengan Ketua Umum PDIP. Dalam salinan percakapan seolah-olah Megawati meminta Basrief yang menyeret-nyeret nama Jokowi dalam kasus korupsi bus transjakarta. Basrief dan Megawati membantah adanya komunikasi itu. PDI Perjuangan melaporkan kasus rekaman percakapanini ke polisi.

Ketua tim advokasi komite pemenangan Jokowi-JK, Mixilmina Munir, membenarkan ada sejumlah pengaduan ke KPU, Bawaslu, dan Polri yang diajukan timnya. “Kalau kami temukan pelanggaran Pemilu yang sudah kuat dasar buktinya baru kita laporkan,” kata Mixil.

Anggota tim hukum Jokowi-JK, Taufik Basari, mengatakan adalah sah jika pihaknya melaporkan setiap pelanggaran pemilu. Karena itu ia berharap penegak hukum menindaklanjuti setiap laporan. Sebaliknya, tim hukum Jokowi juga suap menghadapi laporan kubu Prabowo-Hatta. Seperti yang dilakukan tim hukum Jokowi-JK, Todung Mulya Lubisdan Alexander Lay, saat nama Jokowi disebut-sebut dalam kasus bus transjakarta. “Kami melapor atau pihak yang lain melapor itu kami hadapi saja sebagai realitas upaya penegakan aturan,” paparnya.

Anggota tim advokasi Prabowo-Hatta, Habiburokhman, mencatat sedikitnya telah melayangkan 12 laporan dugaan pelanggaran Pemilu, sebagian besar berkaitan dengan kampanye hitam. Habiburrokhman  kecewa penanganan pengaduan itu di aparat penegak hukum pemilu. Perkembangannya di Bawaslu, kata dia, tak jelas. “Kami sebagai pelapor tidak pernah mendapat laporan progres penanganan perkara,” keluhnya.

Habiburrrokhman menegaskan timnya lebih mengedepankan mekanisme hukum untuk menyelesaikan setiap kampanye hitam yang dilakukan kubu lawan. Salah satu isu krusial yang terus digunakan untuk menyerang pasangan Prabowo-Hatta adalah pelanggaran HAM dan surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP).

Perkuat demokrasi
Anggota tim pemenangan Prabowo-Hatta, Viva Yoga Mauladi, berpendapat saling lapor dugaan pelanggaran Pemilu antar pendukung kandidat merupakan upaya membangun pelembagaan demokrasi dalam Pemilu. Sepanjang dilaporkan atau diadukan ke lembaga resmi, maka mekanisme itu harus dilihat positif dalam berdemokrasi.

Taufik Basari dan Viva Yoga berharap KPU, Bawaslu, dan Polri bisa menjalankan tugas dan fungsinya secara optimal. Lembaga penegak hukum pemilu seharusnya tak hanya mengandalkan penindakan, tetapi juga pencegahan. Kampanye hitam terus berulang antara lain karena aparat terkesan membiarkan. Jika mendesak untuk diselesaikan karena mempengaruhi dinamika masyarakat semisal isu SARA, kata Taufik Basari, sebaiknya cepat diselesaikan.

Peneliti CSIS, Phillips J Vermonte, juga berpendapat saling lapor lewat jalur hukum para pendukung capres tidak masalah karena dilakukan melalui mekanisme legal. Justru kalau tidak diselesaikan lewat jalur legal, suatu kasus bisa diungkit-ungkit terus, seperti surat keputusan DKP yang dipakai untuk menyerang kubu Prabowo-Hatta. Kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis tak diselesaikan secara tuntas lewat jalur hukum. Akibatnya, orang-orang di pusaran kasus itu akan terus tersandera. “Makanya kalau ada kasus. harus diselesaikan saat itu juga secara legal dan konstitusional. Biar tidak ada pertanyaan di masa depan,” ucapnya.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mengamini pendapat Vermonte. Pelaporan lewat jalur hukum sesuatu yang positif. “Proses hukum pemilu yang akan menyelesaikan dan selanjutnya harus mereka taati,” tukasnya.

Titi mengingatkan agar kubu pendukung kandidat mempertimbangkan terpenuhinya alat bukti dan tenggat waktu yang tersedia agar laporan dapat ditindaklanjuti. “Kalau laporan sumir tapi dipaksakan untuk dilaporkan dan diproses hukum oleh Bawaslu jangan-jangan publik malah mengira sekedar mencari dukungan atau simpati publik saja,” ujarnya.

Saling lapor dugaan pelanggaran antara kubu pendukung menurut Titi bukan bentuk saling “serang.” Tapi dampak dari sengitnya persaingan dua kubu pasangan calon. Sehingga semua celah akan dimanfaatkan untuk mencari simpati publik.

Sengitnya persaingan itu bisa bermakna positif jika diselesaikan melalui mekanisme yang ada. Apalagi kedua kubu sudah berjanji di depan KUP untuk gelar kampanye pilpres secara damai. Jika tidak, premanisme jalanan dan main hakim sendiri akan merajalela. Gejalanya sudah ada di depan mata. Tidak mengherankan jika Presiden mulai ‘mengundang’ militer menjaga segala kemungkinan resiko dan bahaya yang timbul dalam pelaksanaan Pilpres mendatang.

Kini, kuncinya ada di aparat penegak hukum. Mampukah aparat penegak hukum menyelesaikan kampanye hitam yang jelas-jelang melampaui rambu-rambu hukum? Waktu yang akan membuktikannya.
Tags:

Berita Terkait