Sanksi Pidana Bagi Pemberi Sedekah di Jakarta
Utama

Sanksi Pidana Bagi Pemberi Sedekah di Jakarta

Perda Ketertiban Umum DKI Jakarta yang baru memuat ancaman pidana bagi masyarakat yang memberi sedekah kepada pengemis dan membeli dari pedagang asongan. Sebagian kalangan menyambut Perda itu dengan kritik karena dinilai justru dapat menjatuhkan wibawa hukum.

IHW
Bacaan 2 Menit

 

Lebih jauh Andri mencontohkan Pemda Makassar yang lebih mengedepankan upaya preventif. Di berbagai sudut di Makasar, terdapat sejumlah spanduk yang memberi peringatan kepada masyarakat untuk tidak memberikan  uang kepada gepeng, karena hanya melanggengkan keberadaan gepeng. Tidak ada ancaman sanksi bagi pelanggarnya, Andri berujar. Hasilnya ternyata cukup efektif dalam menghambat laju pertumbuhan gepeng di kota itu.

 

Taufik Basari sependapat dengan Andri. Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi YLBHI ini menilai Perda itu merupakan contoh kebijakan pemerintah yang tidak populer. Seharusnya yang lebih penting dipikirkan Pemda adalah bagaimana caranya agar keberadaan gepeng tidak dianggap sebagai sebuah penyakit sosial yang harus diberangus, kata Tobas, demikian ia biasa disapa.

 

Konsekuensinya, lanjut Tobas, Pemda harus segera memikirkan program pembangunan yang lebih kooperatif bagi keberadaan gepeng. Selama ini gepeng cenderung mendapatkan perlakukan yang diskriminatif, terutama dalam hal mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Karenanya pemerintah harus segera membuat sebuah program dimana gepeng dapat berkompetisi secara fair, ungkapnya.

 

Jatuhkan wibawa hukum

Sementara, pengajar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar menyesalkan rencana pengkriminalisasian terhadap pemberi sedekah. Sanksi pidana berupa kurungan dan denda, kata Yesmil, menjadi tidak sinkron dengan prinsip hukum pidana sebagai ultimum remedium alias senjata pamungkas. Ada beberapa hal dimana penjatuhan sanksi pidana menjadi tidak tepat. Apalagi kalau sifatnya pelanggaran terhadap Perda, ujar Yesmil.

 

Lebih jauh Yesmil mengatakan, pada prinsipnya tidak semua masalah sosial seperti fenomena gepeng bisa diselesaikan oleh norma hukum positif. Jika salah dalam meletakkan dasar sosiologis dan filosofis dari suatu peraturan, bisa jadi malah menjatuhkan wibawa hukum, kata Yesmil yang juga seorang kriminolog.

 

Yesmil lantas mencontohkan Perda tentang larangan merokok di tempat umum yang diberlakukan di Jakarta. Ketidakcermatan penyusun Perda dalam melihat faktor sudah membudayanya merokok di seluruh struktur lapisan masyarakat, akhirnya membikin implementasi Perda itu tidak efektif. Bagaimana mau menegakkannya (Perda, red), wong masyarakat sudah terbiasa merokok. Ironisnya, aparat penegak hukumnya pun sambil merokok di lapangan. Jangan-jangan pejabatnya juga sambil merokok di ruang sidang ketika membahas Perda itu, selorohnya. Walhasil, sambung Yesmil, disinilah awal ambruknya wibawa hukum.

 

Kecaman terhadap Perda itu juga datang dari Saldi Isra. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas ini malah menilai Perda itu sebagai sebuah upaya mencuci tangan dan 'potong kompas' untuk menyelesaikan masalah gepeng di perkotaan. Padahal dalam konstitusi kan jelas tugas negaralah yang memelihara kaum miskin dan anak terlantar. Karena pemerintah tidak memelihara dengan baik, maka munculah fenomena gepeng. Ini yang tidak pernah dipikirkan pemerintah untuk mencari solusi pemecahannya, tandasnya.

 

Menanggapi kritikan itu, Jornal dengan tegas menjawab, Justru wibawa hukum menjadi semakin terinjak-injak ketika ada sebuah peraturan yang memuat larangan-larangan tanpa adanya sanksi. Lagi pula karakteristik masyarakat kita baru jera ketika sudah terkena sanksi. Kendati demikian, Jornal berjanji memberikan semacam sosialisasi maupun himbauan langsung kepada masyarakat sebelum mengefektifkan sanksi pidana di dalam Perda itu.

Tags: